Eks Petinggi Kampus STIT Raden Wijaya Mojokerto Dituntut Penjara 3 Tahun

Sidang kasus penggelapan sertifikat tanah STIT Raden Wijaya Mojokerto
Sumber :
  • M. Lutfi Hermansyah/Viva Jatim

Jatim –Proses hukum kasus penggelapan sertifikat tanah STIT Raden Wijaya Mojokerto dan pemalsuan surat terus berlanjut di Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto. Terdakwa Hariris Nurcahyo (59) dihadapkan pada agenda sidang tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas perkara yang membelitnya. 

Ricuh, Aksi Lempar Kursi Warnai Eksekusi Hotel Garden Palace Surabaya

Dalam persidangan di ruang sidang Cakra PN Mojokerto, Senin, 12 Juni 2023, JPU Kejaksaan Negeri Kota Mojokerto Riski Appriliana membacakan tuntutan untuk terdakwa Hariris terlebih dahulu. Hariris dituntut pidana pejara selama 3 tahun. 

"Menjatuhkan pidana penjara terhadap Drs Hariris Nurcahyo, M.Si bin Kasiran  selama 3 tahun dikurangi selama terdakwa berada di dalam masa penahanan sementara," kata JPU Riska Aprilia. 

Polwan Bakar Suami di Mojokerto Dituntut 4 Tahun Bui

Riska menilai, terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah sebagaimana dakwaan pertama pasal 374 KUHP. Dimana, perbuatan terdakwa dinyatakana memenuhi unsur penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja. 

"Hal hal yang memberatkan terdakwa yaitu menyebabkan kerugian STIT Raden wijaya Mojokerto dan meresahkan masyarakat. Hal yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum," ungkap Riska. 

Kasus Suap 3 Eks Hakim PN Surabaya soal Vonis Ronald Tannur Masuki Babak Baru

Atas tuntutan tersebut, penasihat hukum Hariris, Jainul Arifin mengatakan akan mengajukan pledoi pads sidang selanjutnya yang rencana digelar 15 Juni 2023 mendatang. Ia menilai, tuntutan yang dijatuhkan memberatkan terdakwa.  

"Kalau menurut kami terlalu berat sekali. Karena hampir semua saksi menyatakan bahwa dia sebagai dosen, bukan sebagai pemilik, harusnya kalau ada masalah seperti ini pemimpin atau ketua STIT yang harus bertanggung jawab," terangnya. 

Ia juga menepis tudahan yang menyatakan kliennya menggelapkan sertifikat tanah kampus STIT Raden Wijaya yang terletak di Jalan Pekayon, Kota Mojokerto. Ia mengklaim, jika selama ini sertifikat tersebut tersimpan di dalam kampus. 

"Semua sertifikat itu disimpan di dalam kampus dan semua orang tahu. Akan tetapi mereka yang mengajukan perkara ini mereka tidak pernah meminta dan mempertanyakan itu kepada yang dipasrahi untuk menyimpan, " ujar Jainul. 

Selain itu, ia mengklaim selama terjadi polemik di kampus pada tahun 2020 hingga STIT Raden Wijaya Mojokerto diakuisisi PCNU Kota Mojokerto, tidak pernah ada langkah mediasi. 

"Tidak pernah ada mediasi. Seharusnya Pemerintah Kota memediasi karena ditakutkan civitas akademika yang menjadi korban," tandas Jainul. 

Dikonfirmasi terpisah, Pembantu Ketua 1 STIT Raden Wijaya Mojokerto Tamyizul Ibad menyebut, pihak sudah pernah meminta seritifikat tanah kepada terdakwa Hariris, baik secara lisan maupun surat resmi. 

"Pernah kita minta secara lisan dan bahkan kita layangkan somsasi dua kali. Tapi tidak diindahkan sampai dia menjadi tersangka," tandasnya. 

Kemudian, ia juga membantah pernyataan penasihat hukum Hariris, Jainul Arifin yang mengatakan tidak pernah melalukan upaya mediasi. 

"Koopertais sudah dua kali turun untuk memediasi tahun 2020 dan 2021. Pak Hariris hadir saat itu," pungkas Ibad. 

Sebagaimana diketahui, Hariris dilaporkan ke polisi oleh Achmad Wahid Hasjim dengan tuduhan penggelapan dan penguasaan aset kampus STIT sejak tahun 2016. Dosen sekaligus guru asal Desa Sambiroto, Kecamatan Sooko, itu tetap menguasai sertifikat dan mendirikan yayasan dalam yayasan meskipun jabatannya sudah habis.

Dari laporan itu, penyidik Satreskrim Polres Mojokerto Kota menetapkan Hariris sebagai tersangka penggelapan dan pemalsuan akta tanah kampus pada 9 Februari lalu. Yakni akta tanah atas nama Badrus seluas 967 meter persegi dan Saifudin Anafabi seluas 884 meter persegi.