Mengenal Batik Ulur Wiji, Brand Lokal Mojokerto yang Go Internasional

Pembatik Ulur Wiji di Desa Pandan Krajan, Kecamatan Kemlagi, Mojokerto
Sumber :
  • VIVA Jatim/M Luthfi Hermansyah

“Proses (pewarnaan) umumnya celup, namun kalau pewarna alam lebih rumit. Berbeda dengan pewarna sintesis tinggal sekali celup, sudah jadi. Kalau alami, misalkan mau membuat warna biru gelap bisa sampai 50 kali celupan, maka tidak heran kalau mahal, kita riset juga,” ungkapnya. 

Sebelum melalui proses pewarnaan kain dicuci lebih dulu atau disebut teknik pre-mordanting. Proses pre-modating ini untuk menetralkan zat kapur yang nempel pada kain. Setelah itu kain digambar motif, lalu dibatik, kemudian kain akan diwarnai menggunakan pewarna alam. 

“Dalam sehari bisa menghasilkan 12 kain. Kalau ngebut bisa sampai 20 kain. Kalau sebulan  sekitar 100 - 150 kain,” ujar Nesta. 

Bahan kain yang digunakan batik Ulur Wiji ada beberapa jenis. Antara lain, tansel, rayon, linen, katun, sutra. Ibu tiga anak ini mengungkapkan, jenis kain yang paling diminati tansel dan linen, karena ramah lingkungan. 

Khusus batik berbahan kain sutra, ia sendiri produksi dengan jika ada pesanan khusus. Sebab, harga kain sutra sendiri terbilang cukup mahal, Rp 150 - 250 ribu per meter. Harga jual batik Ulur Wiji berbahan kain sutra bisa mencapai Rp1,2 juta. 

“Ketentuan harga berdasarkan bahan dasar dan motif. Paling diminati kain tansel sama linen. Sedangkan motif yang galaxi paling laris,” terangnya.