Peradilan di Masa Nabi Muhammad (1)
- Viva.co.id
Jatim – Islam mempunyai khazanah keilmuan yang banyak, termasuk dalam hal peradilan, hakim dan etika di dalamnya. Peradilan merupakan proses memisahkan antara yang benar dan batil, maka peradilan dibutuhkan untuk melerai suatu perkara. Sebuah negara tidak akan berjalan dengan sejahtera tanpa kehidupan yang adil. Maka, sesungguhnya semua hal berjalan di atas dasar keadilan.
Lembaga hukum dibentuk dengan komponen di dalamnya bertugas untuk menegakkan keadilan, lembaga Hak Asasi Manusia di dunia maupun di Indonesia berdiri untuk menegakkan keadilan. Termasuk negara ini terbentuk untuk keadilan masyarakat di dalamnya. Dalam pembukaan UUD 45 sudah terang jika negara ini terbentuk untuk menyatakan pentingnya kemerdekaan dengan menolak penjajahan, karena bertentangan dengan perikemanusian dan perikeadilan.
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Kemerdekaan bermakna banyak, kemerdekaan beragama, berpikir, menyampaikan kritik, kemerdekaan dalam memenuhi hak suatu bangsa, termasuk hak untuk hidup. Hak hidup adalah kemerdekaan mendasar. Maka perlu dilindungi, bukan saling membunuh. Selain itu, kemerdekaan harus terwujud bukan hanya antar negara, akan tetapi antar bangsa, tetangga, institusi juga harus terwujud. Bukan saling mengkerdilkan atau membunuh kemerdekaan itu sendiri. Di sini lah tugas peradilan, hakim dan hakim itu diwujudkan.
Mengingat peradilan di Indonesia mulai tidak seimbang dengan adanya penindak hukum yang main hakim sendiri, hanya atas dasar kemarahnnya terhadap suatu kemungkaran, dia membunuhnya. Padahal ada tempat di mana hukum itu ditetapkan. Sehingga hal itu dinilai kurang etik dalam hukum. Apalagi ia dilakukan oleh penegak hukum di negara ini.
Sebagai negara yang beragama, kita tidak kekurangan referensi dalam menegakkan hukum. Dalam Islam sendiri, banyak ayat yang berbicara tentang hukum, baik dalam fiqih, sosial serta keluarga. Islam termasuk agama yang sangat teliti dalam mengatur kehidupan manusia. Semisal makan, Islam mengajarkan bagaimana adab makan yang benar.
Al-Qur’an sudah menyinggung tentang peradilan. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Shad ayat 26 yang artinya: Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.
Peradilan di Masa Nabi Muhammad
Ayat tersebut dijadikan sebagai landasan oleh para ulama untuk melaksanakan peradilan di muka bumi ini. Diperkuat dengan bukti jika Nabi adalah sebagai hakim di tengah umat Islam. Tidak hanya ketika memimpin umat Islam di Madinah, akan tetapi ketika beliau hidup di tengah kafir Quraisy, bahka sebelum diangkat menjadi Rasul, beliau telah membuktikan menjadi seorang yang menegakkan keadilan sehingga tidak terjadi perselisihan.
Pernah suatu ketika terdapat perselisihan di antara mereka ketika bangsa Quraisy hendak membangun Kakbah karena terjadi banjir bandang dan kerusakan karena kebakaran sebelumnya, bangunan tersebut akan direstorasi. Mereka urunan dengan harta yang bersih. Setiap orang membawa batu di leher mereka, begitu juga orang yang ikut serta adalah Nabi Muhammad, yang mana pada saat itu umurnya masih 35 tahun.
Saat selesai menata, sampailah pada peletakkan batu hajar aswad. Mereka saling berselisih siapa yang pantas meletakkan batu dari surga itu. Mereka beranggapan jika begitu beruntungnya orang yang meletakkan batu itu. Namun mereka saling berselisih tentang siapa yang pantas meletakkan batu itu. Perselisihan itu hampir terjadi peperangan.
Perselisihan tersebut berlangsung hingga 4 empat malam. Sampai Abu Umayyah bin al-Mughirah berkata: Wahai kaum, janganlah kalian berselisih, putuskanlah siapa yang kalian relakan untuk menjadi menjadi perwakilan. Mereka kemudian bersepakat jika orang yang masuk terlebih dahulu di Kakbah adalah pemegang kendali perkara. Kebetulan, Nabi Muhammad adalah orang yang masuk pertama kali. Orang Quraisy merasa lega, karena tahu peringai Nabi Muhammad, sebagai sosok yang amanah dan jujur.
Ketika Mereka menyampaikan kabar tersebut kepada Nabi Muhammad, Maka ia merentangkan selendangnya dan berkata: “Ambillah setiap dari Kabilah satu sisi dari kain selendang”. Kemudian Rasul meletakkan batu pada kain dan memerintahkan kepada mereka mengangkatnya sampai tiba di tempat hajar aswad. Rasulullah kemudian mengambilnya dan meletakan di tempatnya. Perseteruan pun selesai.
Hal ini menjadi bukti jika Nabi adalah hakim yang adil di antara perselisihan yang tersejadi, ini bisa dikatakan sebagai awal benih peradilan dalam sejarah umat Islam. Pada saat pra-Islam juga terdapat anggota hilful fudhul yang beranggotakan para ketua bangsa Qurasy. Mereka membentuknya untuk melerai pertengkaran di antara para kabilah di arab. (Lihar selengkapnya di Muhammad Khadri Bik, Nurul Yaqin, (t.tp., Dar al-Iman, t.th.), hlm. 21)
Penulis: Ahmad Fatoni, Mahasiswa S2 Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya.