Peradilan di Masa Nabi Muhammad (2)
- Viva.co.id
Jatim – Peradilan dalam sejarah umat Islam tentu berawal sejak Nabi Muhammad diangkat sebagai Rasul. Segala permasalah yang terjadi bagi kehidupan masyarakat kala itu tertumpu padanya. Beliau menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman dalam menciptakan peraturan-peraturan. Begitu juga ketika beliau menjadi pemimpin negara di Madinah, beliau menjadi hakim yang adil, bukan hanya terhadap umat Islam akan tetapi bagi orang Yahudi dan Nasrani yang hidup berdampingannya dengannya.
Di dalam al-Qur’an, Nabi disinggung sebagai seorang hakim yang mampu melerai sebuah perselisihan sehingga mereka tidak keberatan dengan keputusannya.
Hal ini tertuang dalam Q.S. al-Nisa (4): 65; yang artinya: Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
Keberhasilan Nabi dalam menjadi hakim bagi Umat Islam sebagai contoh bagi ulama atau para hakim setelahnya, agar perselisihan tidak terjadi. Tentu dengan transparansi yang total. Dalam Kitab Bidayah al-Mujtahid, Ibnu Rusyd mengatakan jika terdapat 6 syarat menjadi hakim, diantaranya (1) merdeka, (2) beragama Islam, (3) baligh, (4) laki-laki, (5) berakal, dan (6) adil. (lihat Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (t.tp., al-Maktabah al-taufiqiyah, t.th), juz II, hlm 684)
Kapasitas hakim tentu tidak sebatas keenam itu saja. Perlu penjabaran kembali makna dari berakal, adil serta syarat yang lainnya. Karena penunjukan hakim pada masa Rasulullah pun tidak dilakukan secara sembarangan. Rasulullah memilih sahabatnya dengan ketat ketika hendak dijadikan hakim di luar Mekkah. Beliau biasanya menguji kemampuannya.
Misalnya seperti Muaz ketika Rasul hendak mengutusnya menjadi hakim di Yaman, beliau menguji Muaz bagaimana mekanisme yang ia lakukan ketika melaksanakan peradilan atau keputusan suatu perkara.Maka Muaz menjawab bahwa ia akan berpedoman pada al-Qur’an. Bagaimana seandainya tidak dijumpai dalam al-Qur’an? Ia menjawab akan berpedoman pada sunah Rasululllah. Bagaimana jika tidak ada dalam sunnah? Ia menjawab akan melakukan peradilan dengan menempuh jalan ijtihad. Hal itu diterima oleh Rasulullah, beliau kemudian menetapkan Muaz sebagai hakim untuk menyelesaikan perkara di tengah masyarakat.
Sebagaimana hadis lengkapnya sebagai berikut: