Sejarah Berliku-liku AHWA, Jalan Mufakat Memilih Pemimpin Tertinggi NU
- Nurcholis Anhari Lubis/Viva.co.id
Sejak itu mekanisme pemilihan Rais Aam NU dilakukan dengan pemilihan langsung. Wacana mekanisme AHWA kembali dibuka saat Rais Aam PBNU dijabat oleh KH Ahmad Muhammad Sahal Mahfudh, yang terpilih untuk kedua kalinya di Muktamar ke-32 di Asrama Haji Sudiang Makassar, Sulawesi Selatan, pada 23-28 Januari 2010.
Saat itu, ia mengeluarkan instruksi agar PBNU membentuk tim khusus untuk mengkaji secara akademik sistem pemilihan AHWA dan rumusannya dibawa di Musyawarah Alim Ulama dan Konferensi Besar NU ke-2 di Jakarta pada 2-3 Nopember 2014. Tujuannya ialah untuk mengembalikan proses pemilihan dan penetapan Rais Aam melalui musyawarah mufakat, sebagaimana dicontohkan para pendiri NU.
Di forum itu kemudian ditetapkan AHWA dipakai untuk kepemimpinan NU secara bertahap, yakni dimulai dari pemilihan rais syuriah, dari PBNU hingga ranting. Sedangkan untuk ketua tanfidziyah di semua tingkatan menggunakan sistem pemilihan langsung.
Belum juga AHWA terwujud, Kiai Sahal Mahfudh wafat. Jabatan tertinggi NU itu kemudian dimandatkan kepada KH Ahmad Musthafa Bisri atau Gus Mus. Dalam forum Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar ke-3, AHWA kemudian ditetapkan untuk dipakai sebagai sistem pemilihan rais aam pada Muktamar ke-33.
Kendati diwarnai pro dan kontra di tengah peserta muktamar, sistem AHWA kemudian dipakai kembali untuk memilih Rais Aam PBNU di Muktamar ke-33 di Jombang pada 1-5 Agustus 2015, kendati tak sesederhana di Muktamar Situbondo 1984. Di Muktamar Jombang, 9 ulama khos anggota AHWA menunjuk Gus Mus untuk menjadi Rais Aam PBNU.
Namun, setelah diwarnai situasi dramatis, Gus Mus menolak amanat itu dan meminta KH Ma’ruf Amin menempoti posisi pimpinan tertinggi NU tersebut. Muktamirin setuju dan Kiai Ma’ruf Amin kemudian terpilih sebagai Rais PBNU hasil Muktamar NU ke-33 di Jombang.
Sejak itu sampai sekarang, mekanisme AHWA untuk pemilihan rais syuriah di semua tingkatan NU dipakai.