Ahli Parenting Ungkap Pola Asuh Anak agar Tak Jadi Korban atau Pelaku Bullying
- Unsplash
Surabaya, VIVA Jatim – Perilaku bullying belakangan ini kerap mengancam anak-anak di sekolah. Hal demikian membuat para orang tua menjadi was-was dengan keamanan dan kenyamanan anak saat belajar di sekolah.
Dikutip dari VIVA, Rabu, 13 Maret 2024, seorang Psikolog dan Ahli Parenting Irma Gustiana mengatakan, generasi sekarang ini memang lebih terdidik namun juga berisiko terkena kesehatan mentalnya. Hal itu dikarenakan bullying secara verbal maupun dari cyber.
Menurutnya, orang tua dan sekolah merupakan dua lembaga yang memiliki kontribusi terhadap perkembangan kejiwaan anak-anak.
“Berbicara terkait pengasuhan, sekolah dan orang tua adalah dua lembaga terbesar yang memiliki kontribusi terhadap perkembangan kejiwaan, perkembangan kepribadian, dan juga karakter anak. Karena mereka ini kan nanti di 2045 yang akan menjadi leader di negara ini,” ujarnya.
“Remaja usia 13-15 tahun ini di fase kritis, di fase krisis, sehingga menjadi tugas penting sekali bagi orang tua dan juga sekolah untuk saling berkesinambungan memberikan banyak sekali edukasi terkait mana yang boleh, mana yang tidak boleh terkait pemanfaatan digitalisasi,” pungkasnya.
Lebih lanjut, ketika orang tua membiarkan anak mereka mengakses gadget tanpa ada batasan waktu, maka akan berdampak dalam perkembangan psikologis anak.
“Karena kalau kita bicara terkait pengasuhan ketika orang tua tidak peduli terhadap apa yang dilihat anak, tidak peduli durasi waktunya, tidak peduli dengan siapa anak bermain di dunia maya, maka akan berdampak sekali terhadap perkembangan psikologisnya (anak),” bebernya.
Untuk itu, hal pertama yang perlu dilakukan oleh orang tua adalah membangun komunikasi baik tanpa tindakan kekerasan. Komunikasi menjadi hal inti daripada pola asuh ideal anak. Dengan cara komunikasi terbuka tanpa kekerasan, anak akan mudah dikontrol dan dikendalikan.
“Yang pertama sih sebetulnya kalau keluarga itu intinya adalah komunikasi. Berarti memang orang tua dan anak itu perlu membuka cara komunikasi terbuka dengan anak. Tapi, berkomunikasi dengan anak hindari yang namanya kekerasan,” tandasnya.
“Seringkali kita bicara dengan anak dengan kasar, dengan hukuman, dengan tidak positif terhadap anak. Sehingga anak menjadi menolak untuk berkomunikasi dengan orang tua. Jadi saran terbaik adalah buka komunikasi ramah dengan anak, kemudian setelah komunikasi dengan anak, kita (orang tua) bisa menyampaikan edukasi terkait mana yang boleh, dan yang tidak terkait dengan bullying, terkait dengan pelecehan, pornografi, dan juga boundaries (batasan diri),” terangnya.
Lalu kemudian, kata Irma, bekerjasama dengan pihak sekolah. Hal ini karena sesuatu yang berkelanjutan. Sehingga memang nilai-nilai dalam pemanfaatan digitalisasi media sosial dan internet itu sama antara nilai di rumah dengan nilai yang diajarkan di sekolah. Orang tua juga disarankan untuk mau belajar dalam mendidik anak.
“Kemudian orang tua juga harus mau jadi orang tua yang mau belajar. Karena belajar ini kan sepanjang masa sebagai orang tua. Harus tahu apa yang sekarang di gemari anak remajanya, sehingga bisa nyambung saat berkomunikasi. Kalau nyambung sama orang tua, sefrekuensi itu rasanya nyaman diajak diskusi,” kata Irma menjelaskan.
Tips terakhir yaitu orang tua harus lebih peka terhadap perubahan yang terjadi pada anak. Ketika mengetahui ada perubahan, maka orang tua akan segera bertindak tegas dan segera meminta bantuan kepada pihak yang lebih berpengalaman.
“Dan yang terakhir memang perlu segera menjadi peka terhadap sebagai orang tua mengetahui tanda-tanda perubahan dari emosi dan perilaku anak, sehingga ketika ada sesuatu hal terkait dengan aktivitas bullying, kekerasan, atau hal-hal lain itu orang tua segera bisa antisipasi, bekerja sama dengan sekolah dan minta bantuan dari expert,” pungkasnya.
Artikel ini telah tayang di VIVA.co.id dengan judul Ayah Bunda, Ini Tips Mengontrol Penggunaan Media Sosial Anak Agar Lebih Sehat