Aprindo Kritik PP Kesehatan: Jangan Campur Adukkan dengan Sektor Ekonomi
- Viva Jatim/Madchan Jazuli
Surabaya, VIVA Jatim – Polemik adanya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang baru disahkan menuai pro kontra. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) menyayangkan karena mencampuradukkan sektor kesehatan dan ekonomi, seperti pengaturan penjualan produk tembakau.
Ketua Umum APRINDO, Roy N Mandey mengatakan seharusnya pemerintah mereformasi dan membangun sistem dan layanan kesehatan sampai ke pelosok negeri, tidak dengan mematikan kegiatan ekonomi masyarakat.
"Kesehatan dan ekonomi merupakan dua hal yang berbeda. Ekonomi berhubungan pada kesejahteraan masyarakat, upaya masyarakat mencari nafkah untuk keluarga dan anak-anaknya, pun pedagang serta pelaku usaha," ujar Roy N Mandey diterima VIVA Jatim, Kamis, 1 Agustus 2024.
Roy mengatakan tidak bisa seakan-akan kebijakan tersebut sektor kesehatan harus menang sementara sektor ekonomi kalah begitupun sebaiknya. Ia berharap harus seimbang sebagai bagian turunan dari UU Kesehatan.
"Iya seharusnya peraturan ini fokus pada mengatur kesehatan. Tidak dengan cara mengatur sampai bagaimana harus berjualan, berdagang," paparnya.
Ia juga memproyeksikan implementasi PP Kesehatan perihal zonasi pelarangan penjualan sejauh 200 meter ini belum jelas. Pengukuran jarak menggunakan meteran, atau dari pihak Satpol PP yang akan terjun langsung ke lokasi.
Selain itu, redaksi tempat pendidikan dalam peraturan tersebut masih amat sangat luas. Roy menilai tempat kursus lembaga tari, balet, atau bimbingan belajar dan lain sebagainya belum jelas.
"Redaksi tempat pendidikan yang sangat luas, apakah termasuk tempat kursus balet, kursus bimbingan belajar dan lainnya. Sehingga pasal-pasal Pengamanan Zat Adiktif di PP Kesehatan masih multitafsir serta bisa menjadi pasal karet gegara tidak mudah dilaksanakan," ulasnya.
Dirinya mengulas kembali selama 12 tahun lalu, sektor pertembakauan telah sepakat dan disiplin menjalani implementasi aturan mengenai pengamanan zat adiktif yang berada di PP No 109 Tahun 2012.
Yakni Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Dikatakan Roy, menjadi urgensi saat ini sebenarnya adalah penertiban rokok ilegal.
Pasalnya, Roy mempertanyakan kenapa mempersoalkan yang membayar cukai
Padahal dalam berkontribusi penerimaan negara untuk pembangunan terbilang besar.
"Bagi investasi kenapa tidak dilindungi? Dampak regulasi ini sampai ke hulu langsung yaitu ke petani tembakau. Pemerintah tidak memikirkan mitigasinya," akuinya.
APRINDO berharap pemerintah bukan malah mematikan ekonomi masyarakat melalui sebuah PP Kesehatan. Karena pelaku pertembakauan alias rokok sudah menaati dari pembatasan iklan, hingga patuh menjual rokok hanya untuk usia dewasa.
"Lantas, kenapa sekarang ditambah pasal karet ini, ujungnya juga tidak dapat menjamin hilangnya rokok ilegal? Sejak awal kami tidak pernah dilibatkan, apakah diajak bicara dan sebagainya. Malah tahu menahu soal sosialisasi peraturan ini," tutupnya.
Sebagai informasi, PP Kesehatan tercantum dalam pasal 434 ayat (1) huruf c yang terdapat larangan menjual produk tembakau secara eceran satuan per batang.
Tak hanya itu, pasal 434 ayat (1) huruf e melanjutkan pengaturan bahwa setiap orang dilarang menjual produk tembakau dan rokok elektronik dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.