Koalisi Masyarakat Sipil Menilai Proses Persidangan Tragedi Kanjuruhan Terdapat Keganjilan
- Nur Faishal/ Jatim Viva
Jatim – Koalisi Masyarakat Sipil menilai proses persidangan Tragedi Kanjuruhan yang dilaksanakan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya terdapat keganjilan. Menurut mereka ada beberapa faktor yang menguatkan keganjilan tersebut.
Koalisi Masyarakat Sipil tersebut terdiri dari Lembaga Bantuan Hukum Pos Malang (LBH Malang), Lembaga Bantuan Hukum Surabaya (LBH Surabaya), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Lokataru Foundation, dan IM57+ Institute.
Mereka mendesak Komisi Yudisial agar melakukan pengawasan dan mendorong proses sidang Tragedi Kanjuruhan. Yang pertama adalah membuka akses seluas-luasnya kepada publik. Karena selama ini ada pembatasan akses pengunjung.
Tak cuma itu, terdakwa dihadirkan secara daring dalam proses sidang ini. Lalu ada juga penerimaan anggota Polri sebagai penasehat hukum dalam persidangan pidana oleh Majelis Hakim.
"Kami menilai bahwa langkah yang dilakukan oleh PN Surabaya untuk membatasi akses persidangan tragedi Kanjuruhan merupakan langkah yang tidak tepat," demikian pernyataan resmi Koalisi Masyarakat Sipil.
"Sebab, menurut Pasal 153 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) jo. Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman, mewajibkan bagi Majelis Hakim dalam setiap pemeriksaan di pengadilan dilakukan secara terbuka untuk umum."
Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan, seharusnya keluarga korban Tragedi Kanjuruhan serta jurnalis diberi akses seluas-luasnya untuk melihat proses dan tahapan persidangan. Karena itu tujuannya untuk mengawal persidangan.
Lalu, apabila yang menjadi penyebab pembatasan pengunjung dalam persidangan tersebut adalah faktor keamanan, maka seharusnya PN Surabaya dapat memberikan pilihan lain agar jurnalis dan masyarakat tetap dapat melihat dan memantau jalannya persidangan.
Terkait dengan terdakwa yang dihadirkan secara daring pun menyalahi aturan. Karena ketentuan Pasal 154 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan terdakwa wajib hadir pada sidang pemeriksaan di pengadilan.
Terlebih lagi, kebijakan pemberlakuan dan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) pada Desember 2022 lalu sudah secara resmi dicabut oleh pemerintah. Artinya, tidak ada alasan hakim untuk dalam menghadirkan terdakwa secara daring.
"Keganjilan lain yang kami dapatkan yaitu diterimanya anggota Polri sebagai penasehat hukum dalam persidangan pidana. Keputusan tersebut bertentangan dengan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang mana dalam proses pidana, Polisi tidak memiliki wewenang untuk melakukan pendampingan hukum di persidangan pidana."
"Profesi yang berhak mengenakan atribut toga dan melakukan pendampingan hukum dalam persidangan pidana adalah seorang advokat. Anggota polri tidak dapat menggunakan atribut/toga advokat. Untuk menjadi advokat harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana sudah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Sehingga kami menilai keputusan tersebut, telah merusak dan melecehkan sistem hukum yang berlaku."
Atas dasar itu, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Komisi Yudisial untuk melakukan pemantauan dan pengawasa jalannya persidangan. Lalu mendesak PN Surabaya memberi akses kepada publik.
Komisi Yudisial untuk diminta mengambil langkah hukum jika ditemukan pelanggaran kode etik pedoman perilaku hakim pada proses persidangan Tragedi Kanjuruhan.