Polemik Bagi-bagi Amplop Said Dinilai Cederai Sakralitas Masjid

Plt Ketua PDIP Jatim, MH Said Abdullah
Sumber :
  • Nur Faishal/Viva Jatim

Jatim – Di awal bulan puasa Ramadan 1444 Hijriyah, warga Madura dihebohkan dengan pembagian amplop berisi uang dari seorang politisi senior PDI Perjuangan, MH Said Abdullah. Isinya pun beragam, mulai dari Rp150 ribu hingga Rp300 ribu. Amplopnya pun lengkap dengan logo banteng moncong putih.

150 Warga Binaan Lapas Narkotika Pamekasan Ikuti Program Rehabilitasi

Ketua Banggar DPR RI itu pun membantah adanya asumsi bahwa yang Ia lakukan bentuk dari kampanye politik uang. Justru, kata Said, sapaan lekatnya, hal tersebut dimaksudkan sebagai zakat mal dan sekaligus membantu mengentaskan kemiskinan ekstrem di Madura.

"Jadi, kalau itu money politic, saya ini belum caleg. Kalau dilaporin ke Bawaslu, kampanye perasaan juga belum, jadi motifnya apa? Bagi saya itu zakat mal, itu rukun Islam, kalau saya tidak keluarkan, gugur iman saya," kata Said di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, kepada awak media, Senin, 27 Maret 2023 kemarin.

Tersangka, 3 Konten Kreator Film Guru Tugas Ditahan Polda Jatim

Kendati demikian, zakat mal yang dimaksudkan Said itu tetap dinilai kurang etis oleh Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja lantaran menggunakan lambang partai. Bahkan pihaknya melarang adanya politik praktis di masjid maupun tempat-tempat ibadah lainnya.

"Yang jelas Bawaslu tetap pada komitmen bahwa tidak boleh ada kegiatan politik praktis di masjid atau tempat ibadah, tidak boleh. Tidak diperkenankan itu untuk menjaga kondusifitas menjelang masa kampanye," ungkap Bagja.

Pancing Amarah Warga Madura, 3 Konten Kreator Film Guru Tugas Ditangkap Polisi

Dinilai Mencederai Sakralitas Masjid

Penggunaan masjid sebagai tempat pembagian amplop berisi uang itu juga dinilai mencederai sakralitas masjid sebagai tempat ibadah. Hal ini diungkapkan Kiai A Dardiri Zubairi, pemerhati lingkungan dan sosial di Barisan Ajaga Tana Ajaga Na'poto (BATAN). 

"Saya menyebut [aksi itu] sebagai profanisasi masjid. Dimana masjid yang tadinya berfungsi sebagai tempat ibadah dan memusyawarahkan masalah keumatan, berubah menjadi ajang tindakan politis layaknya ruang-ruang lain yang bersifat profan," ungkap Kiai Dardiri, sapaan lekatnya, kepada Viva Jatim, Rabu, 29 Maret 2023.

Menurutnya, amplop yang berisi uang lengkap dengan lambang partai dan gambar tokoh politisi sudah cukup dikatakan sebagai tindakan politik. Apalagi menggunakan masjid yang seharusnya tidak dicampuri dengan kepentingan-kepentingan lain.

"Ada duit di situ, ada gambar partai, ada gambar politisi. Itu sudah cukup kegiatan ini disebut sebagai tindakan poitik. Masjid berubah fungsinya sebagai tempat profan, hilang sakralitasnya sebagai rumah ibadah," imbuhnya.

Moralitas Politik Sulit Berkembang

Kiai Dardiri juga menyebut bahwa aksi yang dilakukan di bulan Ramadan itu membuat moralitas politik kian sulit berkembang. Sebab di dalamnya ada upaya menarik simpati masyarakat dengan menggunakan kekuatan ekonomi.

Demokrasi liberal, begitu Kiai Dardiri menyebut, acapkali menjadikan uang sebagai kekuatan ampuh menarik suara rakyat. Saat ini, cara yang demikian dilakukan untuk tetap melanggengkan posisinya di kursi-kursi tertentu.

"Moralitas dalam demokrasi liberal dimana sumber-sumber ekonomi politik dikuasai segelintir orang susah berkembang. Mereka menggunakan sumber-sumber ekonomi politik untuk memapankan posisinya kembali dengan membagi-bagi duit buat rakyat," tegasnya.

Masyarakat Jadi Korban

Aksi bagi-bagi amplop tersebut rupanya berhasil menarik perhatian masyarakat. Bahkan sebagian dari mereka sempat termakan isu hoaks yang mengabarkan bahwa di salah satu masjid di Sumenep akan ada bagi-bagi amplop.

Mereka pun ramai-ramai mendatangi masjid Nurul Jadid itu yang berada di Dusun Banjeru, Desa Gapura Tengah, Kecamatan Gapura. Pengurus takmir masjid merasa heran jumlah jamaah salat tarawih malam itu jauh lebih banyak dari biasanya. Sebab pihak takmir tidak pernah mendapatkan informasi adanya pembagian amplop.

Namun sayangnya, amplop yang mereka tunggu-tunggu tak kunjung datang. Usut punya usut, ratusan masyarakat yang datang dari desa-desa sebelah itu rupanya termakan isu hoaks.

Masyarakat sebagai objek sekaligus subjek dari politik praktis ini, menurut Kiai Dardiri, telah menjadi korban. Mereka menjadi korban dari sistem politik dan diposisikan sebagai pemilik suara yang bisa dibeli.

"Masyarakat itu korban dari sistem politik liberal yang butuh banyak biaya. Masyarakat diposisikan sebagai voter yang bisa dibeli. Setidak-tidaknya uang yang dibagikan diharapkan oleh para politisi bisa memperoleh dan merebut suaranya," ujarnya.

Pentingnya Kesadaran Bersama

Dinamika politik yang demikian, kata Kiai Dardiri, diperlukan adanya kesadaran bersama. Bahwa dalam menjalankan roda demokrasi tidak menggunakan cara-cara yang mencederai sakralitas masjid dan mengorbankan rakyat.

Mendorong kesadaran bersama dinilai sangat penting dan fundamental agar masyarakat tak tergoda dengan politik uang. Sehingga mereka tidak mudah menjadi korban dari banyak kepentingan yang berlindung di balik uang.

"Tokoh-tokoh masyarakat perlu melakukan tirakat. Agar tak tergoda, sambil membangun kesadaran masyarakat agar tak mudah jadi korban.