Identik dengan Klenik dan Mistis, Berikut Hal yang Perlu Diluruskan Saat Ritual 1 Suro
- Madchan Jazuli/Viva Jatim
Trenggalek, VIVA Jatim –Pemerintah RI menetapkan Muharram 1445 hijriyah dimulai pada Rabu, 19 Juli 2023, orang jawa menyebutnya Bulan Suro. Tidak sedikit masyarakat yang menganut keyakinan memandikan barang pusaka seperti keris dan lainnya di malam pembuka bulan tersebut.
Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUl) Jatim, Agus H Zahro Wardi memberikan penjelasan tentang hal-hal yang perlu dihindari dalam ritual malam satu suro supaya tidak terjerumus dalam kesalahan aqidah.
Menurutnya, orang masih kental ke Jawa-nya, suro memang menjadi bulan yang sangat sakral. Karena sakral, bulan Suro itu dibuat yang aneh-aneh seperti memandikan pusaka-pusaka di tempat-tempat keramat.
"Sesungguhnya tradisi-tradisi ini tidak harus kita hilangkan, biarlah tetap lestari. Hanya saja, karena berkaitan dengan aqidah perlu diluruskan," ungkap Gus Zahro saat dihubungi VIVA Jatim, Selasa, 17 Juli 2023.
Dirinya menerangkan biasanya keyakinan orang Jawa yang memandikan pusaka di Bulan Suro atau melakukan ritual ke tempat keramat. Dari pandangan kitab fiqih, hal itu berkaitan dengan hubungan antara sebab dan akibat.
Adanya sebab akibat tersebut, ada tiga hal yang perlu dihindari. Pertama, tidak diperkenankan sampai mempunyai kemungkinan sebab-akibat itu pasti yang mengikat.
Gus Zahro mencontohkan, saat orang menkalankan ritual memandikan pusaka, umpama seseorang punya keyakinan antara sebab dan akibat. Dengan dimandikan, akan berdampak membawa kebaikan, atau sebaliknya saat tidak dilakukan, akan membawa petaka.
"Jika demikian, tidak boleh diyakini sebagai satu hal yang pasti. Yang tepat adalah anggap saja itu adalah kebiasaan yang diturunkan oleh Allah," bebernya.
Ia mencontohkan, seperti orang makan biasanya kenyang, akan tetapi ada yang orang tidak makan kuat. Lalu, karakteristik api biasanya membakar, tetapi tidak bagi Nabi Ibrahim yang diberikan mu'jizat tidak terbakar.
"Jadi tidak boleh diyakini bahwa sebagai akibat yang tanazul yang mengikat. Sama juga seperti kita minum obat Bodrex biasanya saja menyembuhkan sakit kepala," ulasnya.
Kiai yang juga Ketua Badan Wakaf Indonesia Trenggalek melanjutkan hal yang harus dihindari. Kedua, jangan sampai sebab akibat tersebut aslinya adalah selain Allah. Umpama keris dimandikan di bulan Muharram kehidupam menjadi enak, jangan sampai hidup enak itu karena pusaka telah dimandikan.
"Sebaliknya apabila di bulan Muharram ini pusakanya lupa tidak dimandikan kemudian celaka sakit atau ada bencana," paparnya.
Gus Zahro menyimpulkan, berkaitan dengan sebab-akibat yang berkaitan dengan keyakinan. Haram, bila keduanya diyakini talazum atau pasti terjadi dan muatsir atau yang menjadikan adalah Allah.
Kufur, apabila muatsirnya bukan Allah, tapi meyakini karena sebab-akibat tersebut (dilakukan atau tidak dilakukan ritual). Sementara, boleh dilakukan, apabila meyakini bahwa sebab-akibat tersebut tidak talazum.
"Tapi sekadar kebiasaan yang Allah jadikan bersamaan sebab-akibat, dan meyakini semua muatsirnya adalah Allah," tutupnya.