Hari-hari Mencekam Handoko saat Mencari Ayahnya yang Hilang Usai G30S

Handoko menunjukkan potret ayahnya, Mochammad Sarkawi.
Sumber :
  • Mokhamad Dofir/Viva Jatim

Itu adalah pertemuan pertama sekaligus terakhir Handoko sejak ayahnya ditangkap. Karena setelah menjenguk kedua kali, petugas menyampaikan bahwa Sarkawi sudah dikirim ke Sukabumi. "Itu jawaban sindiran, artinya Sukabumi ya dikebumikan," singkatnya.

Kendati demikian, Handoko tak patah arang. Ia terus mencari keberadaan ayahnya. Bila pun sudah tiada, Handoko berharap bisa menemukan pusaranya. Dia bolak-balik menyambangi markas tentara seantero Kota Surabaya. Semua itu ial lakukan demi ibunya yang hampir gila gara-gara kehilangan Sarkawi. 

Kengototan Handoko mencari Sarkawi membuat petugas geram. Akibatnya, Handoko kemudian dijebloskan ke penjara pada tahun 1970. Ia dipenjara dengan status tahanan politik. "Saya waktu itu sudah di Mojokerto disekolahkan Paklik (paman) saya di Mojokerto. Setelah lulus SMA, baru sebulan diambil (diciduk aparat keamanan)," tuturnya.

Handoko mulanya digelandang ke tahanan milik tentara yang dia sebut sebagai CI di kawasan Undaan, komplek Rumah Sakit Adi Husada Surabaya. Di sana sudah banyak orang yang juga dibui dengan kondisi mengenaskan. 

Ia kemudian dihadapkan pada interogator. Di atas meja, petugas meletakkan tiga lembar surat pernyataan dan ia diminta untuk membubuhkan tanda tangan. “Saya duduk menghadap meja. Di depan saya ditaruh pistol, ditinggal [petugas]. Entah tujuannya apa, disuruh bunuh diri atau melawan,” papar Handoko.

Dalam keadaan tertekan, dengan nada berbisik seseorang kemudian memberi saran agar Handoko menyerah dan bersedia menandatangani berkas yang disodorkan petugas. Karena kalau menolak, nasibnya tak akan jauh dengan para korban yang bergelimpangan di lantai gedung.

Kondisi itu berlangsung semalam suntuk. Tanpa diberi kesempatan istirahat apalagi makan maupun minum. Hingga keesokan harinya, dia bersedia menandatangani lembaran itu. “Daripada nanti (tubuh) saya hancur,” ucap Handoko.