KTT G20 dan Nasihat Imam Al-Ghazali untuk Para Pemimpin
Jatim – Tak lama lagi, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 akan dilaksanakan di Bali, Indonesia, pada 15-16 November 2022 mendatang. Forum yang melibatkan para pemimpin negara dengan perekonomian besar di dunia itu akan merumuskan beberapa solusi penanganan krisis global. Sehingga pertumbuhan global yang kuat, berkelanjutan, seimbang dan inklusif dapat diwujudkan di tengah dinamika yang semakin kompleks.
Hal yang tak kalah menarik dari gelaran Presidensi G20 Indonesia 2022 ini adalah tema yang diusung, yakni ‘Recover Together, Recover Stronger’. Tema tersebut tentu merepresentasikan niat baik Indonesia untuk mengajak seluruh dunia saling mendukung upaya pulih bersama serta tumbuh lebih kuat dan berkelanjutan pasca pandemi Covid-19. Oleh sebab itu KTT G20 melibatkan para pemimpin dari berbagai negara digdaya di dunia.
Kemajuan suatu negara, termasuk Indonesia. tidak bisa dilepaskan dari peran pemimpinnya. Sebesar apapun potensi yang dimiliki suatu negara, baik berupa sumber daya manusia maupun alam, bila tidak dikelola dengan baik oleh pemimpinnya tentu tidak akan memberikan kemajuan yang signifikan. Sebab peran pemimpin sangat vital dalam segala hal yang berkaitan dengan entitas negara.
Untuk itu, Imam Abu Hamid bin Muhammad Al-Ghazali, atau yang dikenal dengan Imam Al-Ghazali menuliskan beberapa nasihat untuk para pemimpin, agar dapat menjalankan amanah dengan baik. Nasihat tersebut ditulis dalam Kitab al-Tibr al-Masbuk fi Nashihat al-Muluk, yang kemudian ditashih oleh Ahmad Syamsudin.
Seorang tokoh filsuf dan teolog muslim dari Persia itu mengemukakan pandangan, setidaknya ada tiga sifat dan prilaku yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin. Pertama, menjunjung tinggi moralitas atau bermoral tinggi, kedua berakhlak mulia dan ketiga tidak berbuat dzalim kepada rakyatnya.
Bila tiga sikap ini dipegang teguh dalam menjalankan amanah sebagai pemimpin, menurut Imam Ghazali tatanan, seorang pemimpin akan selalu dikenang sepanjang masa.
Menjunjung tinggi moralitas merupakan keniscayaan bagi setiap tokoh atau figur publik. Termasuk para pemimpin yang setiap perilakunya pasti dicontoh oleh para rakyatnya. Imam Ghazali mengatakan, bahwa bilamana perilaku pemimpin baik, maka rakyat pun akan baik. Sebaliknya, bila pemimpin bersikap sewenang-wenang atas kekuasaan yang dimiliki, tentu akan berdampak buruk kepada rakyat yang ia pimpin.
“Sepatutnya anda tahu bahwa kejayaan dan keruntuhan dunia bersumber dari para penguasa. Jika penguasa adil, berprilaku baik kepada rakyatnya, niscaya dunia akan berjaya dan rakyat akan merasa aman.” demikian Imam Ghazali menegaskan.
Pemimpin yang menjunjung tinggi moralitas, akan membawanya kepada sifat-sifat yang terpuji. Seorang pemimpin yang berakhlak mulia tentu tidak akan menggunakan kewenangan yang dimiliki untuk kemadharatan. Sebaliknya, seorang pemimpin yang berkahlak mulia akan mengorientasikan segala kebijakan yang dilahirkan untuk kemashalahatan rakyatnya.
Imam Ghazali juga menerangkan betapa tercelanya seorang pemimpin yang menzalimi rakyatnya. Kezaliman seorang pemimpin kepada rakyatnya karena tidak didasari oleh kecintaan akan tugas yang diemban sebagai panutan. Sehingga setiap kebijakan yang dibuat tidak didasari oleh rasa tanggungjawab penuh terhadap nasib rakyatnya. Hal yang demikian tentu akan membuat rakyat semakin menjauhi pemimpinnya dan tatanan negara akan hancur.
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Kekuasaan bisa bertahan meski bersama kekufuran, dan tidak bisa bertahan bersama kezaliman”.
Nabi juga bersabda: “Barangsiapa menghunus pedang kezaliman niscaya akan dihunuskan kepadanya pedang kekalahan dan ia akan bingung.”
Dua pernyataan Nabi Muhammad SAW itu dengan tegas menyatakan bahwa kedzaliman seorang pemimpin tidak hanya berdampak pada kesengsaraan rakyat, melainkan juga keruntuhan, baik negara maupun dirinya sendiri sebagai pemimpin.
Oleh karena itu, Imam Ghazali menyarankan agar mampu menjalankan amanah dengan baik, seorang pemimpin harus dekat dengan ahli ilmu, atau ulama. Sebab ulama merupakan representasi dari ajaran-ajaran agama Islam yang membawa misi mulia. Hal itu merupakan ruh dan penyangga kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Agama dan Penguasa itu saudara kembar. Yakni seperti sepasang saudara yang dilahirkan dari perut seorang ibu yang sama. Ini sangat penting diperhatikan oleh seorang penguasa. Ia wajib menjauhi hawa nafsu, praktik bid’ah, kemungkaran, hal0hal syubhat dan semua yang dapat mengurangi nilai ajaran syariat,” demikian nasihat Imam Ghazali.
Tidak hanya itu, Imam Ghazali juga lebih menegaskan di dalam kitab Ihya Ulumuddin (II/381), bahwa antara pemimpin (umara) dan ulama adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Yang keduanya merupakan penentu baik burunya suatu bangsa.
“Sesungguhnya kerusakan rakyat disebabkan kerusakan para penguasanya. Dan kerusakan penguasa disebabkan kerusakan ulama. Dan kerusakan ulama disebabkan cinta harta dan kedudukan. Barangsiapa dikuasai ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah-lah tumpuan meminta segala persoalan,”
Jika ditarik pada konteks krisis global yang dihadapi dunia, tentu nasihat Imam Ghazali masih sangat relevan. Dimana kesadaran para pemimpin akan perdamaian dunia sangat dibutuhkan, demi stabilitas ekonomi global. Konflik antara Rusia dan Ukraina merupakan gambaran bahwa di antara keduanya tidak menjunjung tinggi moralitas. Sehingga perang terjadi dan negara-negara lain merasakan dampaknya.
Kedaulatan rakyat, sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 merupakan oerientasi dari segara produk-produk kebijakan. Untuk itu pemimpin hendaknya terus memastikan bahwa segala kebijakan itu berpijak kepada kepentingan rakyat. Sehingga rakyat tidak terzalimi dengan kebijakan-kebijakan yang semakin menyengsarakan.
Wallahu a’lam…