Dakwah ke Masyarakat Pegunungan, Kiai Ali Basthom Tak Anti Kejawen

Makam Kiai Ali Basthom di sebelah Masjid Pondok Nailul Ulum.
Sumber :
  • Viva Jatim/Madchan Jazuli

Lambat laun, banyak yang akhirnya ingin mondok. Saat itu Kiai Ali hanya mengaji biasa dengan sistem bandongan. Baru di 1980an mulai ada madrasah diniyah dengan sistem yang lebih tertata.

Momen Banser di Trenggalek Periksa Kesehatan Puluhan Emak-emak

"Lalu mulai dibentuk madrasah tahun 1985, yang memprakarsai madrasah diniyah Pakde Samsul Huda sampai sekarang berjalan," terangnya.

Perihal dengan kultur masyarakat pegunungan, Kiai Ali menaruh simpati dalam berdakwah satu sisi memiliki kepribadian yang menarik, sehingga orang melihat. Namun satu sisi sungkan berbalik dengan rasa senang.

Selamatan Durian Trenggalek, Mas Ipin: Menjaga Alam Berikan Keberkahan

Gus Habibi menceritakan memiliki kepribadian yang menarik yaitu gaya berbicaranya tegas. Lalu dengan istilah bisa ngemong bisa menghadapi siapa saja dari anak kecil hingga orang sepuh.

"Dengan anak kecil bisa, komunikasi dengan anak kecil itu paling sulit, anak kecil. Dengan anak kecil bisa, apalagi dengan orang diatasnya dewasa dan orang sepuh," paparnya.

5 Bangunan Rusak Diterjang Banjir Bandang di Munjungan Trenggalek

Lalu, yang tidak lepas dari kultur masyarakat pegunungan itu adalah primbon dan kebiasaan-kebiasaan kejawen, Kiai Ali tidak anti dengan demikian. Dari santri-santri dan ucapan beliau yang pernah disampaikan yaitu tidak antipati dengan kebiasaan tersebut.

"Lek arepe ngugemi monggo, tapi lak ngimani ojo, au kama qol," ujar beliau sambil menirukan dengan Bahasa Jawa.

Halaman Selanjutnya
img_title