Pencak Dor Tetap Lestari di Kediri, Budaya dan Seni dari Pesantren
- Viva Jatim/Madchan Jazuli
Jatim – Pencak Dor, begitu orang Kediri dan sekitarnya menyebutnya. Sebuah pertandingan tarung bebas di atas ring yang terbuat dari bambu. Kesenian ini lahir di lingkungan Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur yang masih eksis hingga kini.
Kata Pencak berarti gerakan pencak silat yang dipakai petarungnya, sementara Dor berasal dari alat musik jidor yang digunakan untuk mengiringi jalannya pertandingan.
Uniknya, selama pertandingan berlangsung, petarung akan diiring dengan bacaan Salawat Badar dan seni musik jidor. Selain untuk meredam emosi, salawat juga berfungsi untuk menegaskan identitas Pesantren Lirboyo yang merupakan asal dari bela diri ini.
"Digelar ya sudah tidak bisa dihitung, karena sudah terjadi sejak sebelum penjajahan. Bahkan ketika Jepang menduduki Indonesia itu sempat diwadahi," ungkap Ketua Yayasan Ma'sum Jauhari, Ali Salim Kambuna Assegaf saat dikonfirmasi, Senin 19 Desember 2022.
Beberapa waktu lalu Pencak Dor berlangsung di Lapangan Aula Muktamar Pondok Pesantren Lirboyo Kediri. Ribuan peserta dan penonton memadati lokasi Pencak Dor demi menyaksikan acara tahunan tersebut.
"Alhamdulillah acara berjalan dengan lancar karena sportivitas selalu dijunjung tinggi di atas ring bambu Pencak Dor. Jumlah peserta ada ribuan yang berasal dari berbagai daerah di Karisidenan Kediri," jelasnya.
Ia juga tidak hafal persis kapan dimulainya Pencak Dor. Ditaksir sudah 80 sampai 90 kali. Sebab, Pencak Dor dilakukan setiap tahun. Dibuat pada waktu haflah akhirussanah yang selalu disambut antusias masyarakat umum.
Waktu itu, pertarungan bebas antara kaum santri dengan Jepang mendapat tempat. Santri langsung atraksi-atraksi sampai memukul benda tajam serta batu-batu yang besar itu dibuat bola. Menurut Ali, akhirnya Jepang takut dan tidak melangsungkan pertarungan tersebut dan memberikan perhatian kepada santri.
"Malah santri-santri mendapat permit khusus. Maksudnya dapat jatah beras dan sembako," jelasnya.
Dirinya mengaku, sejak zaman dulu dibuat sebagai acuan pendekar-pendekar Pencak Dor sama sekali tidak memiliki mental tarung jalanan karena memiliki slogan di atas lawan di bawah kawan, termasuk slogan dari sekarang adalah Indonesia tanpa tawuran.
"Karena pada dasarnya sehebat apapun kita setelah di atas panggung ya kita bukan apa-apa. Kita tetap murid beliau-beliau, karena pencak dari relatif masuknya ke cirkelnya santri," paparnya.
Pria yang berkomitmen nderek dawuh kiai ini berharap di 2023 tetap selalu melestarikan kesenian budaya Pencak Dor. Menutnya pribadi dan untuk teman-teman yang bisa merasakan penempaan diri. Sebagai bentuk dari kita sebagai jawara itu ya jawara kita ketika di atas panggung
"Ketika di bawah ya kita tetap menjunjung tinggi akhlakul karimah kepada yang lebih sepuh (tua), kepada yang lain serta kepada sesama. Karena tidak seperti mentalitas jiwa orang-orang yang brutal di jalan," tegasnya.
Ali menegaskan pasca acara Pencak Dor pernah terjadi konvoi di jalan menciderai jalannya pertarungan diatas ring. Pihaknya menegaskan konvoi yang dilakukan bukan dari pelestariseni budaya.
"Itu dari oknum-oknum yang tidak memahami esensi dari pencak yang sebenarnya. Tentunya tetap melestarikan budaya ini dengan melakukan evaluasi-evaluasi," tandasnya.