Akhir Suram Moerachman, Wali Kota Surabaya yang Hilang di Tahun Jahanam
- Mokhamad Dofir/Viva Jatim
Biasanya, selepas sekolah Handoko pulang berjalan kaki menuju kantor Pemkot Surabaya, tempat ayahnya bekerja. Dari sana ia lalu pulang bersama ayahnya. Saat kejadian, beberapa pekan setelah peristiwa G30S, ia melihat banyak tentara di sepanjang jalan sekitar kantor Pemkot Surabaya. Ia gagal menemui ayahnya karena dilarang aparat.
Karena tak jua pulang, Handoko disuruh ibunya mencari keberadaan ayahnya. Saat itulah dia menerima kabar bahwa Sarkawi dibawa aparat bersama sejumlah pejabat dan tokoh lainnya yang dicap aktif di PKI, termasuk Moerachman. Mereka semua ditahan di kawasan Gunungsari.
Handoko dan anggota keluarganya baru diperbolehkan menjenguk satu bulan kemudian. Begitu bertemu, Sarkawi sudah dalam kondisi gundul. Itu adalah pertemuan terakhir Handoko dengan ayahnya. Hingga kemudian dia memperoleh informasi dari aparat yang ditanya bahwa ayahnya dibawa ke Sukabumi.
Belakangan ia mengetahui dari rumor yang berkembang saat itu bahwa istilah Sukabumi bukan merujuk pada satu daerah. Sukabumi dimaksud ialah dikebumikan atau meninggal dunia. Namun, Handoko tak patah arang. Dia terus mencari keberadaan ayahnya, kendati tinggal jasad. Gara-gara kegigihannya itu, Handoko ditangkap karena dicap anak PKI.
"Padahal saya tidak tahu apa-apa, saya enggak ngurusi soal partai. Yang saya cari itu bapak saya, di mana jasadnya,” ucap Handoko.
Pada tahun 1970, Handoko ditahan sebagai tahanan politik (tapol) di sebuah rumah tahanan di kawasan Undaan, lalu dipenjara di Kalisosok, dan terakhir di Pulau Buru. Handoko bebas setelah menjalani hukuman selama sembilan tahun.
Saat di penjara Kalisosok, Handoko memperoleh informasi dari Heru Lili dan Dokter Tanu, tapol yang juga ditahan saat itu. Dari bibir mereka diterima cerita bahwa Sarkawi bersama beberapa orang lainnya sempat diangkut aparat dengan menggunakan truk menuju Kalijagir, Kedung Baruk, Rungkut. Di situ juga ada Moerachman.