Pertunangan Bocah di Madura Menurut Islam
- TikTok
“Khitbah itu baru sekadar janji pernikahan. Bukan pernikahan. Sebab, pernikahan tak terlaksana kecuali dengan sahnya akad yang sudah maklum. Dengan begitu, laki-laki yang melamar dan perempuan yang dilamar statusnya masih orang lain. Tidak halal bagi si pelamar untuk melihat si perempuan kecuali bagian yang diperbolehkan syariat, yakni wajah dan kedua telapak tangan.” (Lihat Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, jilid IX, halaman 6493).
Tujuan dari prosesi khitbah dan melihat sang calon adalah untuk mengetahui secara mendalam baik dari fisik maupun karakter perempuan tersebut. Sehingga, ketika telah berlangsung pernikahan tidak terjadi penyesalan. Karena dikatakan bahwa melihat adalah cara terbaik untuk mengetahui suatu hal. (Abu Zahra, al-ahwal al-Syaksiyah, Beirut: Dar al-Fikr, t.th, hlm 29)
Kaitannya dengan budaya tunangan di Indonesia yang beragam dan banyak yang kontroversial, maka kita sebagai umat Islam harus menyikapinya dengan tepat sesuai perspektif agama dan budaya. Secara budaya sudah jelas jika hal itu dibolehkan. Karena jika tidak, pertunangan sebagaimana yang terjadi di Bangkalan pada seorang anak perempuan berusia 4 tahun tidak akan berlangsung. Hal tersebut sudah lumrah di sebagian wilayah Madura.
Akan tetapi yang perlu dipersoalkan adalah bagaimana sikap agama terhadap budaya demikian. Merujuk kepada paparan di atas maka hal itu sah-sah saja, asalkan tidak terjadi hal yang dilarang oleh agama. Semisal berduan di tempat yang bukan seharusnya. Karena status keduanya tidaklah sama dengan status pernikahan. Maka, antar tunangan tidak boleh semena-semena dalam melakukan hubungan. Mereka harus hidup sebagaimana orang yang belum menikah.
Usia pertunangan
Pertunangan adalah kesepakatan kedua calon suami-istri untuk melakukan jenjang pernikahan. Pertunangan tidak ada batasan dalam umur, hal ini merujuk kepada hukum pernikahan yang tidak mencantumkan kriteria umur. Jumhur ulama tidak mensyaratkan umur dalam pernikahan, sebagaimana pendapat Wahbah Az-Zuhaily, bahwa:
“Mayoritas ulama tidak mensyaratkan baligh dan aqil untuk berlakunya akad nikah. Mereka berpendapat keabsahan perkawinan anak di bawah umur dan orang dengan gangguan jiwa. Kondisi anak di bawah umur, menurut jumhur ulama, termasuk ulama empat madzhab, bahkan Ibnul Mundzir, mengklaim ijmak atau konsensus ulama perihal kebolehan perkawinan anak di bawah umur yang sekufu.” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz VII, halaman 179).