Pertunangan Bocah di Madura Menurut Islam

Potongan video viral pasangan bocah cilik tunangan.
Sumber :
  • TikTok

Jatim – Pertunangan merupakan langkah awal pasangan lain jenis menuju jenjang pernikahan. Pertunangan di sebagian wilayah di Indonesia mempunyai ragam cara dan budaya, ada yang sebentar dan ada yang lama menuju jenjang pernikahan. Ada pula pertunangan yang dilakukan oleh pasangan bocah cilik, seperti dalam video yang viral dan disebut-sebut terjadi di Bangkalan, Madura. 

Mengenal STAINAS Sumenep Lebih Dekat, Kampus yang Berbasis Pesantren

Di video yang viral itu, terlihat anak berusia empat tahun di Bangkalan, Madura, melangsungkan pertunangan. Nampak si bocah perempuan tersebut dengan begitu polosnya memasang cincin dengan dibantu oleh ibunya. Hal ini pun mendapatkan komentar yang beragam dari netizen.

Hukum Tunangan 

Bupati Sumenep Suarakan Reaktivasi Kereta, Cak Nanto: Penting Didukung untuk Kesejahteraan Madura

Jika digali dari perspekti Islam, adat-istiadat tersebut tidak pernah terjadi di masa Rasulullah SAW. Akan tetapi, pertunangan versi Madura tersebut sudah bisa dikategorikan sebagai khitbah (pertunangan) karena prosesinya sebagaimana khitbah dalam Islam, yaitu melihat dan melamar seorang gadis. Menurut Sayyid Sabiq, khitbah adalah seorang laki-laki meminta seorang perempuan kepada walinya untuk menjadi istrinya dengan tata cara yang sudah berlaku di tengah masayarakat pada umumnya. 

Jumhur ulama membolehkan khitbah, bahkan ada yang mengatakan wajib. Hal ini bersandar kepada Rasulullah yang pernah melangsungkan pertunangan dengan Sayyidah Aisyah binti Abu Bakar dan Hafshah binti Umar bin Khattab. Sebagaimana  juga dijelaskan dalam Q.S. al-Baqarah (2) : 235 yang artinya:

Mengenal Jaran Serek, Warisan Tradisi Keraton Sumenep yang Nyaris Punah

“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf. Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”

Dari sini kita bisa mengetahui bahwa khitbah itu diperbolehkan dalam Islam, baik dengan kata yang tegas atau pun secara sindiran.

Dalam Islam, melihat perempuan yang dipinang itu diperbolehkan akan tetapi hanya bisa melihat sebagian dari tubuhnya. Sebagaimana perkataan Muhammad asy-Syarbini dalam kitabnya Iqna’, beliau menjelaskan tentang hikmah  melihat sebatas wajah dan telapak tangan:

 “Hikmah melihat sebatas wajah dan telapak tangan baginya adalah bahwa pada wajah terdapat sesuatu yang menujukkan atas kecantikan dan pada kedua telapak tangan terdapat sesuatu yang menunjukkan kesuburan badan.” (Muhammad al-Syarbini al-Khatib, al-Iqna` fi Halli Alfazhi Abi Syuja`, Bairut-Dar al-Fikr, 1415 H, juz, 2, h. 405-406)

Yang Boleh Dilihat saat Tunangan

Mengenai bagian manakah yang boleh dilihat oleh calon laki-laki? Dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan bahwa lelaki boleh melihat wajah dan telapak tangan perempuan, menurut mayoritas ulama. Ada yang berpendapat boleh juga melihat telapat kaki, sebagaimana dikeluarkan oleh Imam Hanafi.

Silang pendapat ini sebenarnya timbul dari penafsiran Q.S. (18); 24, yang artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya’.” 

Menuru Ibnu Rusyd, yang dimaksud dengan ‘perhiasan yang biasa nampak darinya’, yaitu muka dan kedua telapak tangan.

Dalam proses Khitbah, seorang lelaki dan perempuan tidak diperkenankan untuk berduaan. Harus ditemani walinya. Karena orang yang akan dipinang tersebut bukanlah orang yang sah secara hukum pernikahan. Maka proses melihat calong tunangan dilakukan dengan didampingi wali atau orang mahram yang lainnya. Sebagaimana pendapat yang ditulis oleh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, beliau berkata: 

“Khitbah itu baru sekadar janji pernikahan. Bukan pernikahan. Sebab, pernikahan tak terlaksana kecuali dengan sahnya akad yang sudah maklum. Dengan begitu, laki-laki yang melamar dan perempuan yang dilamar statusnya masih orang lain. Tidak halal bagi si pelamar untuk melihat si perempuan kecuali bagian yang diperbolehkan syariat, yakni wajah dan kedua telapak tangan.” (Lihat Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, jilid IX, halaman 6493).

Tujuan dari prosesi khitbah dan melihat sang calon adalah untuk mengetahui secara mendalam baik dari fisik maupun karakter perempuan tersebut. Sehingga, ketika telah berlangsung pernikahan tidak terjadi penyesalan. Karena dikatakan bahwa melihat adalah cara terbaik untuk mengetahui suatu hal. (Abu Zahra, al-ahwal al-Syaksiyah, Beirut: Dar al-Fikr, t.th, hlm 29)

Kaitannya dengan budaya tunangan di Indonesia yang beragam dan banyak yang kontroversial, maka kita sebagai umat Islam harus menyikapinya dengan tepat sesuai perspektif agama dan budaya. Secara budaya sudah jelas jika hal itu dibolehkan. Karena jika tidak, pertunangan sebagaimana yang terjadi di Bangkalan pada seorang anak perempuan berusia 4 tahun tidak akan berlangsung. Hal tersebut sudah lumrah di sebagian wilayah Madura. 

Akan tetapi yang perlu dipersoalkan adalah bagaimana sikap agama terhadap budaya demikian. Merujuk kepada paparan di atas maka hal itu sah-sah saja, asalkan tidak terjadi hal yang dilarang oleh agama. Semisal berduan di tempat yang bukan seharusnya. Karena status keduanya tidaklah sama dengan status pernikahan. Maka, antar tunangan tidak boleh semena-semena dalam melakukan hubungan. Mereka harus hidup sebagaimana orang yang belum menikah. 

Usia pertunangan

Pertunangan adalah kesepakatan kedua calon suami-istri untuk melakukan jenjang pernikahan. Pertunangan tidak ada batasan dalam umur, hal ini merujuk kepada hukum pernikahan yang tidak mencantumkan kriteria umur. Jumhur ulama tidak mensyaratkan umur dalam pernikahan, sebagaimana pendapat Wahbah Az-Zuhaily, bahwa:

“Mayoritas ulama tidak mensyaratkan baligh dan aqil untuk berlakunya akad nikah. Mereka berpendapat keabsahan perkawinan anak di bawah umur dan orang dengan gangguan jiwa. Kondisi anak di bawah umur, menurut jumhur ulama, termasuk ulama empat madzhab, bahkan Ibnul Mundzir, mengklaim ijmak atau konsensus ulama perihal kebolehan perkawinan anak di bawah umur yang sekufu.” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz VII, halaman 179).

Akan tetapi beberapa ulama tidak setuju dengan pendapat di atas. Mereka menolak pendapat jika pernikahan di usia dini. Hal itu merujuk pada ayat al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 6: 

"Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.”

Kata “sampai mereka cukup umur untuk kawin” dijadikan dalil jika seseorang tidak boleh menikah hingga secara umur sudah pantas untuk kawin. 

Bagaimana pun, tunangan tidak bisa disamakan dengan perkawinan karena dengan pertunangan tidak diperkenankan untuk hidup bersama dan melakukan hubungan suami istri. Maka ulasan pernikahan di atas tidak berlaku pada hukum pertunangan dini. Hanya saja, pertunangan dini tidak baik dan tidak tepat secara umur. Karena mereka belum dewasa sehingga belum memiliki akal sempurna untuk mengetahui kecocongan pasangan.

Wallahu a’lam

 

Penulis: Ahmad Fatoni, Mahasiswa Magister Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya