3 Rekomendasi Komnas HAM Soal Kasus Pembunuhan Brigadir J

Penyerahan rekomendasi dari Komnas HAM kepada Timsus Polri
Sumber :
  • Romza Gawat/ Viva Jatim

Jatim –Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah menyerahkan hasil rekomendasi kepada Tim Khusus (Timsus) Polri terkait dengan penyelidikan dan investigasi kasus pembunuhan Brigadir Nofryansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.

MA Anulir Hukuman Mati Ferdy Sambo, Mahfud MD: Jangan Ada Lagi Permainan!

Hasil rekomendasi tersebut diserahkan langsung Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik kepada Irwasum Polri, Komjen Pol Agung Budi Maryoto di kantor Komnas HAM, Kamis, 1 September 2022.

Komjen Agung mengatakan terdapat tiga substansi yang tercantum dalam hasil rekomendasi Komnas HAM terkait kasus Brigadir J.

Ferdy Sambo tak Jadi Dihukum Mati, Ucapan Mahfud MD Jadi Kenyataan

Pertama, kasus Brigadir J merupakan extrajudicial killing atau Pasal 340 tentang Pembunuhan.

"Kedua, rekomendasi Komnas HAM menyimpulkan tidak ada tindak pidana kekerasan atau penganiayaan,” lanjut Agung.

Selain ke Sambo, MA Juga Sunat Hukuman Putri Candrawathi Jadi 10 Tahun

Ketiga, adanya kejahatan atau tindak pidana obstruction of justice. “Yang kebetulan oleh penyidik, timsus juga sedang dilakukan langkah-langkah penanganan terhadap tindak pidana obstruction of justice," tandasnya.

Sementara itu, Komnas HAM menemukan adanya empat pelanggaran HAM dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofryansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.

Empat pelanggaran ini diketahui setelah Komnas HAM tuntas melakukan investigasi dan analisis terkait dugaan pelanggaran HAM dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J.

Pertama, berkaitan dengan hak hidup Brigadir J sebagai manusia. Terdapat pelanggaran hak untuk hidup yang dijamin dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Faktanya memang terdapat pembunuhan Brigadir J yang terjadi pada Jumat, 8 Juli 2022, di rumah dinas eks Kadiv Propam Polri," kata Beka dalam konferensi pers, Kamis, 1 September 2022.

Poin kedua, pelanggaran hak memperoleh keadilan. Dalam hal ini, Brigadir J diduga melakukan pelecehan seksual hingga akhirnya ditembak mati.  Menurut Beka, berdasarkan Pasal 17 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999, Brigadir J tidak memperoleh keadilan lantaran harus meregang nyawa tanpa melakui proses penyelidikan, penuntutan, hingga persidangan setelah diduga melakukan pelecehan seksual.

"Harusnya ketika dugaan apa pun harus ada proses hukum awal, tidak langsung kemudian dieksekusi," sambungnya.

Selain itu, Beka juga menilai bahwa Putri Candrawathi juga terhambat kebebasannya dalam melaporkan pelecehan seksual yang dialami. Walaupun hingga saat ini, tindakan pelecehan seksual tersebut masih sebatas dugaan semata.

Kemudian, poin ketiga pelanggaran HAM dilihat dari adanya upaya menghalangi penyidikan atau obstruction of justice. Pelanggaran ini dilihat berdasarkan adanya upaya-upaya pihak tertentu yang melakukan penghilangan atau pengrusakan CCTV sebagai barang bukti vital kasus pembunuhan Brigadir J.

"Dari fakta yang ditemukan, ada tindakan yang merupakan obstruction of justice. Pertama, sengaja menyembunyikan atau melenyapkan barang bukti saat sebelum atau sesuai proses hukum. Yang kedua sengaja melakukan pengaburan fakta peristiwa, tindakan obstruction of justice tersebut berimplikasi terhadap pemenuhan akses keadilan, dan kesamaan di hadapan hukum, yang merupakan hak konstitusional yang dijamin dalam hukum nasional maupun internasional," jelasnya.

Pelanggaran HAM yang terakhir yakni adanya pelanggaran hak anak dari Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi untuk memperoleh perlindungan dari kekerasan fisik dan mental.

"Keempat, ada hak anak, yang mana hak anak untuk bisa mendapat perlindungan dari kekerasan fisik dan mental. Ini semua dijamin dalam Pasal 52 dan 58 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak," tandas Beka.