Baru 140 Warga Penghayat Kepercayaan di Tulungagung yang Ubah Kolom Agama KTP
- Madchan Jazuli/Viva Jatim
Tulungagung, VIVA Jatim – Penghayat Kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa (YME) telah memiliki payung hukum dalam mencantumkan identitas di kolom Kartu Tanda Penduduk (KTP) sejak Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan pada akhir 2017 silam. Total hingga akhir 2023, baru 140 warga yang sudah mengurus penggantian penghayat kepercayaan di Tulungagung.
Kepala Bidang Pelayanan Pendaftaran Penduduk Dispendukcapil Kabupaten Tulungagung, Djarno mengungkapkan data tersebut diambil dari data kependudukan Tulungagung untuk warga penghayar kepercayaan terhadap Tuhan YME. Data tersebut dirilis oleh Kementerian Dalam Negeri dalam hal ini Ditjen Dukcapil per semester akhir 2023.
"Tercatat ada 140 orang. Ini data kita ambil data yang dirilis Kemendagri per semester data terakhir per 2023 akhir," terang Djarno di lobi tempatnya kerja beberapa waktu lalu.
Terkait keberadaan warga penghayat kepercayaan, pihaknya juga tidak mengetahui bagaimana proses sebaran dan kenapa masih di angka sekian. Apakah karena berdiam diri enggan mengurus atau memang belum ada sosialisasi.
Djarno sendiri mengaku Dispendukcapil Tulungagung memfasilitasi perubahan update status kolom bagi warga. Karena sudah diatur dalam peraturan secara resmi, sehingga bisa memperoleh kedudukan yang sama seperti yang lainnya.
"Silahkan diajukan dengan mengisi formulir, melampirkan data penduduk surat keterangan dari pemuka aliran kepercayaannya. Nanti bisa kita rubah dokumennya," paparnya.
Terpisah, Bidang Hukum Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan YME (MLKI) Nasional, Akhol Firdaus mengatakan bahwa persoalan kompleks dihadapi Penghayat Kepercayaan Tulungagung dan umumnya seluruh Indonesia. Mereka lebih memilih menyembunyikan keberadaannya dibandingkan harus mencantumkan kolom penghayat.
Menurut Akhol, masih ada stigma buruk dan rasa was-was saat apa yang dianggap dalam kepercayaan jemaah diketahui orang lain akan berdampak pada kehidupan sosial masyarakat.
"Rupanya problem penghayat bukan hanya problem regulasi, tetapi juga ada problem lain yang menurut saya juga tidak kalah penting apa? inklusi sosial hingga risiko sosial," ulas Akhol Firdaus ditemui di tempat tinggal Rumah Dinas kampus.
Dosen UIN SATU Tulungagung ini menilai pengalaman menjadi penghayat mengalami diskriminasi yang panjang dalam kehidupan mereka menjadikan semakin phobia yang luar biasa bagi keluarga penghayat.
Penghayat kepercayaan untuk kembali mendapatkan inklusi pengucilan secara sosial eksklusi pengucilan secara sosial lalu juga pengucilan secara ekonomi dan seterusnya seperti yang mereka alami di periode periode masa lalu. Sehingga kebijakan saja tidak cukup warga penghayat secara keseluruhan.
Dikatakan Akhol bahwa menggunakan identitas kepercayaan tidak akan berdampak bagi kelangsungan hidup mereka secara sosial politik maupun ekonomi. Sehingga butuh proses dan waktu untuk menyelesaikan trauma seperti ini.
"Harus ada upaya yang serius guna meyakinkan kelompok minoritas ini agar mereka tidak lagi diselimuti oleh ketakutan trauma phobia yang tidak beralasan," paparnya.
Ruang tamu di tempat Akhol Firdaus tinggal, terpampang foto-foto pendiri Penghayat Kepercayaan. Mulai foto Romo Sumono sebagai Pendiri Penghayat Kapribaden asal Jawa Tengah, Mei Kartawinata pendiri Aliran Kebatinan Perjalanan lahir di Kebonjati, Kota Bandung, pada 1 Mei 1897. Serta foto lama Romo Sukino pendiri atau Penghayat Sumarah asal Gunungkidul Jawa Tengah.