Kepala Kemenag Nganjuk Ajak Terapkan Sikap Moderasi Beragama
- Hafidz Yusuf/Viva Jatim
Nganjuk, VIVA Jatim –Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Nganjuk terus memperkuat karakter moderasi beragama kepada pelajar. Hal itu dibuktikan degan kegiatan bertajuk ‘Seminar Penguatan Moderasi Beragama’ yang bekerja sama dengan Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU) Nganjuk dan diikuti oleh puluhan pelajar lingkar Wilis.
Usai acara, Kepala Kantor Kemenag Nganjuk, M Afif Fauzi menekankan pentingnya moderasi beragama sebagai landasan untuk menjembatani perbedaan dan memelihara harmoni sosial di tengah masyarakat yang semakin beragam.
Praktik moderasi beragama yakni perilaku seseorang dalam menjalankan syariat agamanya dengan tidak berlebih-lebihan artinya memahami teks secara moderat.
“Penguatan moderasi keberagaman ini penting dan kegiatan salah satu program prioritas Kementerian Agama,” kata Afif kepada VIVA Jatim Senin, 4 November 2024.
Hal itu, lanjut alumnus Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga ini, dalam rangka untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurutnya, moderasi beragama dalam konteks ini adalah meyakini dengan sepenuh hati bahwa agama yang diyakini adalah agama yang benar tetapi dalam konteks dengan umat beragama yang lain harus saling menghormati dan saling menghargai.
“Kementerian Agama akan selalu mendukungkan betapa pentingnya moderasi beragama dalam rangka untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua LKKNU Nganjuk Miftahul Huda memaparkan secara komprehensif tentang konsep moderasi beragama dalam konteks pendidikan. Ada empat indikator utama moderasi beragama yang harus dipahami dan diimplementasikan.
Pertama, komitmen kebangsaan, yakni para guru diminta untuk menanamkan nilai-nilai nasionalisme dan cinta Tanah Air kepada peserta didik, sambil tetap menjaga nilai-nilai keislaman yang moderat.
Kedua, toleransi, yakni pentingnya mengajarkan dan mempraktikkan sikap saling menghargai perbedaan, baik dalam konteks internal umat beragama maupun antar-umat beragama.
Ketiga, anti-kekerasan, yakni menekankan pendekatan dialog dan komunikasi yang konstruktif dalam menyelesaikan setiap permasalahan, menghindari cara-cara kekerasan dalam bentuk apapun, sedangkan keempat, akomodatif terhadap kebudayaan lokal, yakni mengajarkan pentingnya menghargai dan melestarikan kearifan lokal yang sejalan dengan nilai-nilai agama.
"Perkembangan teknologi yang sangat pesat telah mengubah pola komunikasi dan cara belajar siswa. Tentunya kita harus mampu menyesuaikan pendekatan pembelajaran mereka dengan karakteristik generasi digital, tanpa mengorbankan nilai-nilai fundamental pendidikan dan agama," pungkas mantan aktivis PMII tersebut.