Intip Upacara Adat Ulur-ulur di Tulungagung, Lestarikan Sumber Air hingga Ratusan Tahun

Suasana Upacara Adat Ulur-ulur d Telaga Buret
Sumber :
  • Madchan Jazuli/ Viva Jatim

Jatim –Pelosok daerah menyimpan berbagai khazanah adat yang menarik. Salah satunya 'Upacara Adat Ulur-ulur' yang berpusat di Telaga Buret Desa Sawo Kecamatan Campurdarat Kabupaten Tulungagung

Komitmen GISLI Tulungagung Bantu Program Pemerintah Jadi Poros Maritim Dunia

Diketahui, telaga tersebut menyimpan sumber air sejak ratusan tahun yang tidak pernah surut. Prosesi upacara dimulai dengan mengarak berbagai sesaji dan kenduri. Selepas sampai di lokasi, kenduri didoakan lantas dibagi-bagikan kepada masyarakat yang ikut menyaksikan acara tahunan tersebut. 

Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis), Karsi Nero menjelaskan acara tersebut rutin digelar setiap Jum'at Legi di bulan Selo, penanggalan Jawa.

Baru 72,14 Persen Capaian UHC di Tulungagung

"Sejak ratusan tahun tradisi ini tinggalan nekek moyang kami. Sejak Mbah Joyo Jigang, mungkin masa Kerajaan Majapahit sudah melakukan ini," terang Karsi Nero ditemui selepas prosesi adat, Jum'at, 9 Juni 2023.

Menurutnya, pelaksanakan upacara adat sebagai rasa syukur kepada Tuhan, hingga detik ini tetap diberi air yang sangat luar biasa terus mengalir. Sehingga dapat mengakhiri khususnya air sawah dari 4 desa sekitar.

Bayi Kembar Siam di Tulungaung Tercover BPJS, dari Sebelum hingga Usai Operasi

Bila ditilik lebih jauh, Karsi mengaku Tradisi Ulur-ulur di Desa Sawo, Gamping, Ngentrong dan Desa Ngunggahan memang sudah sedari ratusan tahun dari nenek moyang secara turun-temurun. Ada kurang lebih 700 hektare sawah di 4 desa tersebut mendapat pasokan aliran air dari Telaga Buret.

Pria berambut gondrong ini menambahkan, Nama Ulur-ulur sebetulnya bukan hanya tradisi, yang kita benahi adalah ulur-ulur memanjangkan air. Supaya air itu terus berfungsi tetap muncul tidak hanya secara doa.

"Kami juga melakukan tindakan action, dengan cara menjaga dan melindungi menjaga tanaman reboisasi setiap tahun," jelasnya.

Pegiat lingkungan hidup ini menjelaskan memang nenek moyang terdahulu juga meninggalkan kebudayaan secara mitosis. Seperti dalam menjaga lingkungan dari dulu memang tidak boleh mengambil ranting di sekitar Telaga Buret. Jika melanggar, akan mendapatkan sesuatu yang tidak diinginkan pada waktu itu.

Karsi Nero mengungkapkan, dengan cara itulah nenek moyang mengembangkan kelestariannya. Sebab belum ada hukum tertulis pada waktu itu, sehingga adanya hukum adat yang berjalan. Siapa yang mengganggu akan mendapat kesialan dan seterunya.

"Ada yang sampai rumah kesurupan, mencicil jika mengambil ranting hasil di alam. Bahkan sekarang ranting yang jatuh tidak mau mengambil, kalau ngambil ya lapor," jelasnya.

Sekilas pandangan kasat mata, Telaga Buret tampak dari balkon sebelah utara sumber berwarna hijau. Selain dalam, sekitar kubangan air yang ditumbuhi pepohonan rindang disinyalir warna air tampak lebih hijau.

Konon sumber telaga tersebut menurut Karsi Nero tak pernah surut. Pernah suatu ketika debit air berkurang lantaran diduga selain 2x tidak ada Upacara Adat Ulur-ulur, juga ada pembalakan liar di tahun 1995-1996. Efeknya berlanjut hingga 1997 hingga 1999 sumber air mulai menyusut, namun tetap saja air masih keluar dengan jumlah sedikit.