Momen Tangis Kecewa Ibu Siswi SMP di Mojokerto Dengar Vonis Pembunuh Anaknya
- Viva Jatim/Luthfi Hermansyah
Mojokerto, VIVA Jatim – Sang ibunda Siswi SMP di Mojokerto yang tewas dibunuh teman sekelas, menangis usai mendengar vonis mejelis hakim Pengadilan Negeri Mojokerto terhadap AA. AA sebagai pembunuh AE dijatuhi hukuman 7 tahun dan 4 bulan pidana penjara.
Selain hukuman penjara, remaja asal Kecamatan Kemlagi itu juga dijatuhi hukuman pelatihan kerja selama 3 bulan di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak (LPKA) Kelas II-A Blitar.
Vonis tersebut lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang ingin AA dihukum 7 tahun 6 bulan pidana penjara dan pelatihan kerja selama 6 bulan di LPKA (Lapas Pembinaan Khusus Anak ) Blitar.
Pihak keluarga tiba di Pengadilan Negeri Mojokerto sejak pukul 08.30 WIB. Mereka datang dengan membawa puluhan massa.
Sebelum persidangan dimulai, Ibunda AE duduk dibangku ruang tunggu PN Mojokerto. Ia nampak tak berhenti menangis dan memeluk foto mendiang putri pertamanya itu. Ia didampingi sang suami, Antok Utomo (40) dan anak keduanya.
Persidangan dimulai pukul 09.53 WIB. Sidang pembacaan vonis digelar di Ruang Sidang Anak dengan hakim tunggal Made Cintia Buana.
"Menjatuhkan pidana anak selama 7 tahun dan 4 bulan serta pidana pembinaan kerja di LPKA Blitar selama 3 bulan," kata Hakim Made Cintia Buana.
Dalam putusannya, Made menyatakan AA(15) melanggar pasal 80 ayat (3) junto pasal 76C UU RI nomor 17 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Made meyakini AA terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah membunuh AE, siswi kelas 3 SMPN 1 Kemlagi itu.
Seketika keributan pun terjadi di ruang setelah hakim membacakan vonis. Orang tua, keluarga dan tetangga korban masuk ke ruang sidang untuk memprotes putusan Made. Ibu Korban terlihat menangis histeris dan terjatuh ke lantai.
"Putusanmu keliru pak. Seumpomo anakmu dewe dipateni diperkosa yok opo? Tolong renungno (Vonis anda salah pak. Semisal anak anda sendiri yang dibunuh dan diperkosa bagaimana? Tolong renungkan)," teriak salah seorang keluarga korban sembari menunjuk-nunjuk Made.
Sejurus kemudian, pria paruh baya ini naik ke kursi di ruang sidang ramah anak. Ia berteriak lantang sambil terus menunjuk ke arah Hakim Made.
"Gak terimo, ga terimo. Seumpomo anakmu dewe diperkosa dipateni yok opo? Dibayar piro? Mugo-mugo anakmu diperkosa dipateni. Allah maha tahu (Tidak terima, tidak terima. Semisal anakmu sendiri yang diperkosa dan dibunuh bagaimana? Dibayar berapa anda? Allah SWT Maha Tahu)," lontarnya.
Ditengah-tengah keributan Ibunda korban dituntun keluarganya keluar dari ruang persidangan oleh keluarganya. Ia masih nampak tak berhenti menangis.
Di dalam ruang persidangan, ayah korban Antok Utomo pun turut mengungkapkan kekesalannya atas vonis Hakim Made. Sejumlah polisi dan petugas keamanan PN Mojokerto membuat barikade agar massa yang emosi tidak menyerang hakim. Sedangkan Made nampak tenang meski terus dicerca oleh keluarga korban.
Kemudian massa yang emosi terus mendesak hakim untuk memberi penjelasan. "Selama proses persidangan kami tidak ada yang mendampingi. Kami ini orang bodoh, kalau hukumannya seperti ini lebih baik tidak ada hukum," seloroh Ayah AE, Antok Utomo (40) didapan Juru Bicara PN Mojokerto, Fransiskus Wilfirdus Mamo.
Fransiskus menjelaskan keluarga korban dapat mengajukan banding atas putusan tersebut. Upaya hukum itu dapat diwakili oleh jaksa penuntut umum. Akan tetapi, penjelasan Fransisku tak digubris massa.
Emosi massa meredah setelah Kapolresta Mojokerto AKBP Wiwit Adisatria tiba ke ruang sidang. Wiwit langsung meminta massa kecuali Antok keluar dari ruang sidang.
Wiwit mengancam akan menangkap seluruh pihak yang membuat keributan. Kekacauan ini akhirnya mereda setelah Atok mendapat penjelasan dari jajaran aparat penegak hukum.
Pukul 11.00, pihak keluarga korban mulai meninggalkan PN Mojokerto situasi berangsur kondusif.
Kapolresta Mojokerto AKBP Wiwit Adisatria memahami rasa kekecewaan keluarga korban atas putusan yang dijatuhkan. Meski tak terima, aksi protes yang dilakukan itu melanggar hukum.
Ia menegaskan, aparat penegak hukum telah bekerja maksimal untuk menuntaskan kasus ini sesuai dengan proses.
"Karena diminta atau tidak, kami dari kepolisian selaku penyidik, jaksa penuntut umum maupun pengadilan sudah menangani kasus ini sesuai prosedur. Tuntutan dan putusannya sudah maksimal. Kalau memang terjadi kekecewaan wajar, jangan sampai mereka melakukan perbuatan melanggar hukum," ungkapnya dihadapan wartawan, Jumat, 14 Juli 2023.
Kendati demikiam, Wiwit menyampaikan sejauh ini tidak ada keluarga korban yang diamankan pasca keributan di ruang sidang. Namun, pihaknya akan melakukan pendalam lebih lanjut.
"Sampai saat ini masih belum (ada yang ditangkap). Cuman nanti kami dalami, kami koordinasi juga dengan Ketua PN, kalau memang perlu kami amankan ya kami amankan. Yang jelas situasinya sudah kondusif, mereka bisa memahami dan bisa menerima bahwa itu hal yang maksimal bisa diberikan kepada tersangka," pungkas dia.
Sebelumnya diberitakan, jaksa penuntut umum Ismiranda Dwi Putri menuntut AA dengan hukuman penjara selama 7,5 tahun dan pelatihan kerja selama 6 bulan di LPKA (Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak) Kelas II-A Blitar.
AA diyakini terbukti melakukan tindak pidana kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan mati sebagaimana dakwaan alternatif pasal 76C juncto pasal 80 ayat 3 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Mengacu pasal 81 ayat 2 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, tuntutan penjara itu sudah maksimal. Sebab, AA selaku anak berkonflik dengan hukum hanya bisa dihukum separo dari ancaman paling lama dalam pasal tuntutan yakni 15 tahun penjara.