Dipecat Kak Pem

Editor VIVA Jatim Almarhum Syaifullah Ibnu Nawawi (tengah).
Sumber :
  • Istimewa

Surabaya, VIVA Jatim – Malam-malam saat mengobrol bersama beberapa sahabat di kantor NU Online Jatim di Gedung PWNU Jawa Timur di Surabaya, pesan WhatsApp dari Kak Pem masuk ke HP saya.

PCNU Surabaya Serahkan Kasus Lambang NU Dipelesetkan ke PBNU

"Mulai besok sampean ndak usah ngedit lagi, ya."

Sambil tersenyum, saya balas pesan tersebut dengan kalimat singkat: Oke, Kak Pem.

Saya melanjutkan obrolan seakan tak ada apa-apa.

Pesan dari Kak Syaifullah Ibnu Nawawi itu penanda garis akhir saya menjadi bagian dari NU Online Jatim. Saya bergabung di subdomainnya NU Online untuk wilayah Jatim itu pada tahun 2020, atas ajakan Kak Syaifullah, pemimpin redaksi NU Online Jatim (sekarang nama jabatannya kepala biro). Kala itu ia juga Pemimpin Redaksi Majalah Aula. Itu sebabnya saya biasa memanggil Kak Syaifullah dengan Kak Pem.

Terkait Izin Tambang untuk PBNU, Menteri ESDM: Dalam Proses Administrasi

Saya mengira ada tiga alasan Kak Pem mengajak saya bergabung di NU Online Jatim. Pertama, Kak Pem adalah teman ngopi sejak saya biasa cangkruk di kantin PWNU, terutama ketika nama saya tercantum sebagai pengurus di LTN NU Jatim. Kedua, Kak Pem tahu saya jurnalis yang menjadi kontributor VIVA.co.id untuk wilayah Jatim. Ketiga, Kak Pem menangkap curhat-curhat saya bahwa saya butuh mengisi waktu santai dengan mengabdi di NU. Alasan lain hanya Allah dan Kak Pem yang tahu.

Sejak itu, hubungan saya dengan Kak Pem kian akrab. Apalagi setelah saya juga ditarik sebagai editor bahasa di Majalah Aula. Tidak hanya urusan pekerjaan, tapi juga urusan pribadi dan keluarga. Kak Pem pendengar curhat yang baik. Bagi saya, ia sudah seperti kakak di tanah rantau. Kak Pem memfasilitasi saya dengan laptop ketika saya mengeluh betapa sulitnya menulis dan mengedit berita pakai HP. Mata panas dan jari-jemari gringgengen.

Ketika penampilan saya semrawut dan tak rapi, Kak Pem tanpa diminta membelikan saya parfum dan sabun cair. Tak perlu gaul, kata dia, yang penting bersih dan wangi di dekat orang-orang saat mengobrol. Ketika otewe ke Surabaya (biasanya Kak Pem ke Surabaya seminggu sebelum deadline Aula atau ada rapat redaksi), Kak Pem datang dengan membawa nasi bungkus daun buat kami di kantor, yang ia beli seturun dari bus di PLN Medaeng.

Soal pekerjaan, Kak Pem sosok yang bertanggung jawab dan tekun. Pagi setelah Subuh, Kak Pem biasanya sudah duduk di depan laptop menulis 1-3 berita untuk NU Online Jatim, jaga-jaga editor pagi bangun kesiangan sehingga konten tak kosong lama. Agak siang ia ngopi atau silaturrahim. Sehabis Zuhur sampai sore ia kembali duduk di depan laptop. Bila tak rapat online, ya, mengedit berita. Malam sehabis Isya atau sebelum tidur, Kak Pem mengetik lagi.

Suatu waktu saya pernah menegur Kak Pem agar mengurangi menulis. Toh posisinya sudah pemred dan tugas-tugas mengisi konten sudah ada kontributor dan editor. Saya berpikir, kelamaan duduk juga bisa jadi penyebab datangnya penyakit, apalagi usia sudah mulai beranjak tua.

Tapi Kak Pem tetap menulis dan menulis. Kebiasaannya duduk di depan laptop tak berkurang. Bahkan, saat dalam perjalanan, di bus atau mobil, ia kerap membuka laptop untuk menulis berita ke-NU-an dan ke-Islam-an buat media-media NU yang ia kelola. Ia seakan tak bisa lepas dari dunia kata-kata.

 

Jurnalis NU Syaifullah mengisi pelatihan jurnalistik di NASA Sumenep.

Photo :
  • Facebook Kiai A Dardiri Zubairi.

 

Kak Pem juga ahli silaturrahim. Ia punya kebiasaan keliling kabupaten/kota di Jawa Timur hanya untuk menyambangi kontributor NU Online Jatim di daerah-daerah. Tiap bulan ia gilir seakan sudah terjadwal. Tak lupa ia menyiapkan buku sebagai oleh-oleh. Karena itu semangat kontributor NU Online Jatim di daerah tetap terjaga. Semua itu Kak Pem jalani dengan duit pribadi. Tidak ada uang operasional dari kantor.

Setiap menyambangi kontributor di daerah, Kak Pem biasanya menyempatkan diri berkunjung ke sahabat-sahabatnya semasa kuliah, di pondok, atau siapa pun yang ia kenal. Kak Pem tak pernah melihat latar belakang orang yang ia silaturrahimi. Yunior pun itu. Bagi Kak Pem, siapa pun bisa dijadikan tempat untuk belajar. Dari mereka ia mengikuti perkembangan dalam segala hal.

Maka ketika Kak Pem mengirim pesan mendadak agar saya tidak mengedit lagi di NU Online Jatim, saya tak marah. Apalagi, setelah melakoni setahun, saya menyadari kurang maksimal menjalankan tugas rutin mengedit. Beberapa bulan setelah itu, ia juga meminta saya berhenti dari Aula. Saya tak sakit hati. Saya tak merasa dipecat. Saya sadar tak bisa mengikuti ritme pengabdian Kak Pem di dunia literasi NU. Saya sadar Kak Pem tak mau sistem yang sudah ia bangun di dua media yang ia pimpin itu kacau-balau karena ketidakbecusan saya. Saya juga tak dongkol karena, mungkin, Kak Pem mengeluarkan keputusan itu dengan ikhlas untuk kemaslahatan.

"Tapi tetap ngopi-ngopi lo, Kak," tambah saya di pesan.

Kak Pem mengiyakan. Ia bilang masih banyak ruang bisa dijadikan alasan untuk silaturrahim. Tak hanya di NU Online Jatim atau Aula. Karena itu, beberapa hari kemudian saya tetap ngopi bareng Kak Pem di kantin PWNU. Ia juga saya mintai nasihat ketika tempat saya bekerja di VIVA.co.id berencana membuat subdomain VIVA Jatim dan saya ditawari untuk mengelola.

"Itu tantangan sekaligus peluang. Ambil saja," kata Kak Pem.

Dan Kak Pem tak gengsi menerima tawaran saya menjadi editor di VIVA Jatim kendati saya sebagai managernya. Saya pikir dia menerima pinangan itu untuk menyemangati saya yang pemula dan baru belajar mengelola media. Saya meminta dia mengisi konten keislaman. Bukan karena butuh kerja dan tambahan penghasilan.

Di VIVA Jatim, Kak Pem termasuk assabiqunal awwalun. Namanya tercantum sebagai editor generasi pertama di susunan redaksi. Saat itu, satu-dua naskah keislaman ia tulis dan ditayangkan di rubrik Cangkrukan, ruang untuk tulisan ringan bertema sembarang, entah berita atau essai.

Belakangan, Kak Pem tak menulis lagi di VIVA Jatim dan saya memahami apa alasannya: ia mesti fokus di NU Online Jatim dan Aula. Tapi namanya tetap tercantum di susunan redaksi. Saya tak berniat mencopot namanya karena saya berharap Kak Pem kembali menjadi bagian dari VIVA Jatim ketika ia sudah tidak lagi menjadi pimpinan di medianya NU Jatim.

Harapan itu saya sampaikan berulang-ulang setiap kali ada kesempatan ngopi bareng Kak Pem. Terakhir saya mengatakan lagi soal itu sekitar enam bulan lalu di rumahnya di Jombang, saat saya menyambangi setelah menerima kabar ia diserang penyakit saraf kejepit. Ia mengeluh sakit punggung kalau duduk terlalu lama. Tapi tetap menulis meski tak sesering sebelumnya.

"Sekarang sampean banyak waktu luang di rumah, Kak Pem. Biar tidak bosan, sekali-kali tetap nulis konten keislaman di VIVA Jatim," pinta saya dan dibalas senyum khasnya.

Beberapa bulan kemudian, saya mendengar kabar Kak Pem kembali masuk rumah sakit setelah menjalani terapi di pengobatan tradisional di Pare, Kediri, Ramadan lalu. Kondisi kesehatannya makin buruk hingga harus menjalani operasi di RSAL Surabaya. Saraf kejepitnya mengganggu fungsi organ vital dan lama-lama terjadi komplikasi.

Saya sempat menjenguk Kak Pem di RSAL Surabaya pada Kamis, 6 Juni 2024, bersama Abdul Hady JM (juga editor VIVA Jatim) dan kawan penggerak literasi NU yang juga dosen pascasarjana UINSA, Iksan Sahri. Kondisinya memang tak baik-baik saja. Hingga akhirnya kabar duka itu pun datang. Kak Pem meninggal dunia pada Senin, 10 Juni 2024, pada pukul 09.30 WIB.

Hingga meninggal, nama Kak Pem tetap tercatat di boks redaksi VIVA Jatim. Saya tak berani balas memecatnya seperti ia memecat saya di NU Online Jatim dan Aula. Karena dia pendorong utama sehingga saya berani mengambil keputusan mengelola VIVA Jatim. Hingga akhir hayat, dia bagian dari VIVA Jatim.

Terima kasih, Kak Pem.

Selamat jalan, Kak Pem.

Surga untukmu, Insya Allah.