Sufisme NU Pasca Habib Luthfi Bin Yahya
- Istimewa
Bahkan dalam buku Sufisme Nusantara baik yang ditulis oleh Miftahul Arifin dan Dudung Abdurrahman, menyebutkan teori sufi dalam penyebaran agama Islam di seluruh pelosok Tanah Air.
Teori sufi lawan teori gujarat, dimana menurut teori yang disebut pertama bahwa pelaku Islamisasi Nusantara adalah para pengamal tarikat yang menyelaraskan sufisme dengan aliran kebatinan yang berurat akar di bumi Indonesia.
Titik temu antara sufisme Islam dengan aliran kebatinan Jawa inilah yang telah mempercepat penyebaran Islam secara resiprokal. Islam bukan agama pengganti dari agama sebelumnya melainkan kelanjutan dari ilmu hakikat yang teosentris.
Sedangkan menurut teori yang disebut kedua bahwa pelaku Islamisasi Nusantara adalah para pedagang dari Arab, India dan China yang membawa misi agama dalam berdagang berdasarkan prinsip suka rela dan antiriba.
Mereka adalah para pedagang yang jujur dan suka berbagi. Sehingga penduduk lokal dengan mudah menerima dan bersimpati pada cara hidupnya. Kemudian para pedagang rantau tersebut, banyak yang kawin kemawin dengan warga setempat dan melahirkan banyak keturunan secara antroposentris.
Dua teori di atas dapat menjelaskan mengapa bumi Nusantara banyak yang beragama Islam dan NU? Sebab secara teologis dan antropologis, banyak yang punya keyakinan manunggaling kawulo gusti yang bersifat imanatif, serta masyarakat yang terbuka terhadap kebaruan dalam sistem nilai yang bersifat normatif.
Oleh karena itu, sufisme NU pasca Habib Luthfi semestinya membawa pesan emansipasi spiritual bagi Indonesia. Maqomat dalam struktur rohani para sufi merupakan hasil olah jiwa yang merdeka dari perbudakan barang dan orang. Semata-mata mengabdikan diri kepada Allah Azza Wajalla.