Sufisme NU Pasca Habib Luthfi Bin Yahya
- Istimewa
Pasca Kongres Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah (Jatman) ke-13 di Asrama Haji Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah, pada Sabtu, 21 Desember 2024, sudah tidak ada lagi dualisme. Organisasi para mursyid thariqah yang sah di bawah kepemimpinan KH Achmad Chalwani sebagai Rais 'Aaly, dan KH Ali Masykur Musa sebagai Mudir ‘Aali.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengakui Jatman yang merupakan organisasi otonom NU. Sementara, organisasi sufisme yang berhimpun di bawah kepemimpinan Habib Luthfi Bin Yahya adalah Perkumpulan Jam'iyyah Ahlith Thariqoh Al-Mu'tabaroh An-Nahdliyah (Patman).
Patman merupakan perkumpulan tersendiri di luar Jatman, sehingga tak ada kaitan dengan organisasi otonom NU. Patman berdiri sendiri dengan badan hukum sendiri, sesuai dengan dengan SK Kemenkumham Nomor AHU-0007241.01.07.Tahun 2019 tertanggal 17 Juli 2019.
Jadi pada level Idarah 'Aliyah, organisasi Tarikat NU tidak ada dualisme organisasi antara Jatman Kiai Chalwani dengan Patman Habib Luthfi. Penegasan ini sangat penting untuk mengakhiri polemik antara dua mursyid tarikat terbesar tersebut.
Kiai Chalwani memilih jalan di bawah pangkuan PBNU, sedangkan Habib Luthfi memilih jalan sendiri. Polemik ini mengakhiri silang pendapat secara terbuka mengenai sejarah berdirinya Jatman. Sebuah solusi berpisah jalan dalam rangka fastabiqul khairot (berlomba-lomba dalam kebajikan).
Setelah gonjang ganjing ini, semua harus kembali pada hakikat keberadaan sufisme NU, Islam dan Indonesia. Bahwa sufisme adalah ajaran sekaligus gerakan pemurnian hati dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Ajaran dan gerakan ini menjadi api kebangkitan ulama dalam menjaga, memelihara dan melaksanakan Islam ala ahlissunnah waljamaah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Bahkan dalam buku Sufisme Nusantara baik yang ditulis oleh Miftahul Arifin dan Dudung Abdurrahman, menyebutkan teori sufi dalam penyebaran agama Islam di seluruh pelosok Tanah Air.
Teori sufi lawan teori gujarat, dimana menurut teori yang disebut pertama bahwa pelaku Islamisasi Nusantara adalah para pengamal tarikat yang menyelaraskan sufisme dengan aliran kebatinan yang berurat akar di bumi Indonesia.
Titik temu antara sufisme Islam dengan aliran kebatinan Jawa inilah yang telah mempercepat penyebaran Islam secara resiprokal. Islam bukan agama pengganti dari agama sebelumnya melainkan kelanjutan dari ilmu hakikat yang teosentris.
Sedangkan menurut teori yang disebut kedua bahwa pelaku Islamisasi Nusantara adalah para pedagang dari Arab, India dan China yang membawa misi agama dalam berdagang berdasarkan prinsip suka rela dan antiriba.
Mereka adalah para pedagang yang jujur dan suka berbagi. Sehingga penduduk lokal dengan mudah menerima dan bersimpati pada cara hidupnya. Kemudian para pedagang rantau tersebut, banyak yang kawin kemawin dengan warga setempat dan melahirkan banyak keturunan secara antroposentris.
Dua teori di atas dapat menjelaskan mengapa bumi Nusantara banyak yang beragama Islam dan NU? Sebab secara teologis dan antropologis, banyak yang punya keyakinan manunggaling kawulo gusti yang bersifat imanatif, serta masyarakat yang terbuka terhadap kebaruan dalam sistem nilai yang bersifat normatif.
Oleh karena itu, sufisme NU pasca Habib Luthfi semestinya membawa pesan emansipasi spiritual bagi Indonesia. Maqomat dalam struktur rohani para sufi merupakan hasil olah jiwa yang merdeka dari perbudakan barang dan orang. Semata-mata mengabdikan diri kepada Allah Azza Wajalla.
Ini artinya, jiwa yang merdeka adalah maqom spiritual yang tinggi yang bebas dari rasa takut dan sedih. Mereka muslim Indonesia yang sudah selesai dengan dirinya yang tak bernafsu pada kekayaan dan jabatan.
Sufisme NU bagi Indonesia mengajarkan pemutihan hati dari hubbud-dunya waljah (cinta dunia dan jabatan). Dengan begitu para pengikut tarikat, tidak mudah tertipu dengan gemerlap dunia. Mereka yang kaya dan berkuasa akan menggunakan kekayaan dan kekuasaannya untuk membantu wong cilik.
Akhirnya jadi teringat pada pernyataan Bung Karno, "Orang tidak bisa mengabdi kepada Tuhan dengan tidak mengabdi kepada sesama manusia. Tuhan bersemayam di gubuknya si Miskin". (*)
*Moch Eksan adalah intelektual muda NU.