Bumbu Dapur IKM Mojokerto Tembus Pasar Ekspor, Omzetnya Ratusan Juta per Bulan
- Viva Jatim/M Lutfi Hermansyah
Mojokerto, VIVA Jatim – Produk bumbu dapur buatan industri kecil menengah (IKM) Mojokerto sukses menggebrak pasar ekspor. Setiap bulan mampu meraup omzet ratusan juta per bulan.
Bumbu dapur ini diproduksi oleh perusahaan yang dirintis oleh keluarga Vergita (26). Vergita sendiri saat ini menjabat sebagai Chief Executive Officer (CEO).
Ayah Vergita, Rudi, merintis bisnis bumbu dapur sejak tahun 2017. Pabriknya berada tak jauh dari kediamannya di Dusun/Desa Mejoyo, Bangsal, Mojokerto.
Menurut Vergita, semula sang ayah menekuni usaha konveksi. Kemudian beralih setelah koleganya menawarkan modal untuk bisnis bumbu dapur. Bahkan, juga akan diajari cara produksinya.
Tanpa pikir panjang, ayahnya mendirikan PT Labuna Nusantara untuk mengolah rempah-rempah menjadi bumbu dapur. “Awalnya itu bikin dengan nama merk rempah nusantara. Namun saat didaftarkan ke HAKI tidak dibisa karena terlalu umum. Ketemulah Labuna, singkatan dari ladaku bumbu nusantara,” ungkapnya.
Awal bisinis bumbu masak ini memproduksi lada bubuk dengan dibantu 3 pegawai. Produk lada bubuk dikemas sachet ukuran 3 gram. Lada bubuk ini menjadi bumbu serbaguna untuk segala menu masakan.
Di tahun 2018 penjualannya kian pesat. Selain Mojokerto, pasarnya merambah daerah Surabaya, Pasuruan, Sidoarjo, Jombang dan Malang. Lalu, produksi bertambah mengolah kunyit dan ketumbar menjadi bubuk. Pegawainya pun ikut bertambah.
“Ekspor berawal dari ikut pameran Trade Expo Indonesia ( TEI ) tahun 2022 yang diadakan Kemendag. Dalam pameran itu Kemendag menghadirkan buyers (pembeli) dari luar negeri, Indonesian Trade Promotion Center (ITPC),” ungkapnya.
Selapas mengikuti gelaran TEI 2022 tersebut, banyak calon buyers yang tertarik dengan produk lada dan kunyit bubuk Labuna. Terutama buyers dari Malaysia.
Kini, produk kunyit dan lada bubuk Labuna telah diekspor ke Malaysia, Tiongkok, Hongkong dan Australia. Menurut Vergita, produk bumbu dapurnya disukai karena kualitas bagus dan harganya pun murah.
Potensi pasar luar negeri ini tak lepas karena Indonesia kaya akan rempah-rempah. Terutama Kunyit.
“Seperti pada umumnya, buyers mencari yang bagus dan murah. Kalau kata buyer di Makau, Tiongkok, selama ini yang paling bagus ini, tapi harganya juga bagus,” katanya.
Vergita mengungkapkan, produk kunyit dan lada bubuk produksinya diekspor tanpa kemasan. Tak seperti yang dijual di Indonesia. Keduanya dikirim dengan kemasan plastik melalui ekspedisi jalur laut. Ke Malaysia misalnya, ia mengirim 100kg lada bubuk setiap bulan.
Lada bubuk yang dieskpor itu hanya 10 persen dari total 5 ton produksi setiap bulan. Sebab, ia lebih mengutamakan pasar lokal.
“Bukannya kita tidak mau ekspor banyak, tapi kita membatasi untuk yang disini. Karena yang paling banyak pasarnya disini. Kalau diekspor semua, disini tidak kebagian,” bebernya
Sebelum mengekspor, Vergita telah melayani pasar di Mojokerto, Jombang, Surabaya, Malang, Sidoarjo dan Pasuran. Mayoritas diperdagangkan di pasar-pasar tradisional.
Kini, Vergita dibantu 10 karyawan memproduksi bumbu dapur di PT Labuna Nusantara, Desa Mejoyo. Bahan kunyit mentah didapati dari petani di Kecamatan Gondang, Jatirejo dan Pacet, Mojokerto. Sedangkan Ketumbar dari Negara Romania.
“Kalau lada dari Sulawesi karena semakin dekat dengan garis khatulistiwa semakin bagus. Tingkat kebasahan dan harumnya beda. Kalau Jawa bisa saja tapi kualitasnya tidak sebagus di Sulawesi,” paparnya.
Vergita membeli kunyit mentah dari petani sebanyak 5 Ton untuk kebutuhan satu bulan produksi. Sedangkan lada mentah 6-7 Ton dan ketumbar 1-2 Ton. “Waktu produksi dimaksimalkan di musim kemarau. Karena Kalau musim hujan kunyit tidak panen,” terangnya.
Pembuatan lada, kunyit dan ketumbar bubuk melalui beberapa proses. Yaitu, pencucian, pengeringan, penggilingan dan pengemasan. Khusus ketumbar, setelah dicuci harus melalui pesangrain lebih dulu untuk mengeluarkan aroma.
“Proses paling panjang kunyit. Pencurian harus dilakukan dua kali untuk memastikan kebersihannya. Kemudian dijemur, kalau memakai matahari harus selama 3 hari sampai benar-benar kering. Habis itu jadi chips (seperti keripik) baru masuk mesin penggilingan. Setalah jadi bubuk terus dikemas,” terang Vergita.
Vergita mengaku sempat terdampak pandemI COVID-19 selama 2 tahun. Ketika itu penjualannya anjlok dan harus mengurangi karyawannya. Padahal, sebelum pandemi karyawannya mencapai 20 orang.
Setelah pandemi, bisinis warisan orang tuanya ini bangkit kembali. Bahkan ia mampu mengembangkan sayap ke pasar ekspor. Kini, omzetnya tembus ratusan juta per bulan.
“Omzetnya sekitar 100-150 juta perbulan. Tapi ini Kategori UMKM Masih kecil segitu itu,” tandasnya.
Selain itu, produknya juga kian banyak. Saat ini bertambah menjadi 10 produk rempah-rempah bubuk. Semuanya dikemas dengan botol plastik. Yakni lada hitam, bawang merah, cabe serpihan, kayu manis, bawang putih, jinten, ketumbar, kunyit dan pala.
“Tambahan produk baru kita kembangan dua bulan. Belum siap didistribusikan karena kita masih menunggu nomor regestrasi PSAT (Pangan Segar Asal Tumbuhan),” pungkas Vergita.