Sejumlah Bank Jadi Korban Kredit Macet Perusahaan Rambut Palsu Milik Konglomerat

Sidang kasus sejumlah bank yang jadi korban kredit macet
Sumber :
  • Nur Faishal/Viva Jatim

Jatim – Sebanyak tujuh bank menjadi korban kredit macet perusahaan rambut palsu, PT Hair Star Indonesia (PT HSI). Diketahui perusahaan tersebut sahamnya pernah dimiliki seorang konglomerat Susilo Wonowidjojo melalui PT Hari Mahardika Utama (PT HMU). 

Lawan Konglomerat Susilo Wonowidjojo, Bank OCBC NISP Optimis Menang

Ketujuh bank tersebut yang menjadi korban kredit macet berdasarkan salinan putusan Pengadilan Niaga Surabaya No.57/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Sby tertanggal 27 September 2021, antara lain Bank BTPN, Bank CTBC, Bank DBS Indonesia, Bank ICBC Indonesia, Bank Mega, Bank OCBC NISP, dan Bank Permata.

Ketua Majelis Hakim PN Surabaya, Khusaini SH, MH menyebut ketujuh bank tersebut merupakan kreditur separatis yang mewakili total 145.550 suara dan bersama-sama menyatakan setuju untuk perpanjangan jangka waktu Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). 

OCBC NISP Vs Konglomerat Susilo Gagal Damai di Pengadilan, Ini Alasannya

Namun, terdapat 11 kreditur konkuren yang mewakili 14.560 suara yang menyatakan tidak setuju. Atas dasar itu majelis hakim memutuskan PT HSI pailit. Kepailitan PT HSI tersebut terjadi setelah PT HMU milik Susilo Wonowidjojo melepas 50% sahamnya kepada Hadi Kristanto Niti Santoso pada tanggal 17 Mei 2021. 

Pada bulan Juni 2021, sebulan setelah HMU keluar dari PT HSI, CV Duta Prima dan CV Kurnia Jaya dengan hanya memiliki nilai tagihan sebesar + Rp 4 Miliar bersama-sama mengajukan PKPU PT HSI di Pengadilan Niaga Surabaya yang akhirnya berujung pailit.  

OCBC NISP Buka Peluang Damai ke Konglomerat Susilo Wonowidjojo

Pada saat pailit terjadi, 100% kepemilikan saham PT HSI sudah dikuasai oleh keluarga Niti Santoso. Selain Hadi Kristanto Niti Santoso yang membeli 50% saham PT HSI dari PT HMU, keluarga ini juga menguasai 50% saham PT HSI melalui PT Surya Multi Flora. 

Sebelumnya, kuasa hukum Bank OCBC NISP Hasbi Setiawan mengungkapkan, PT HSI tidak pernah menyampaikan informasi terkait perubahan kepemilikan saham di perusahaan sebelum proses PKPU terjadi. Padahal sesuai perjanjian kredit antara Bank OCBC NISP dengan PT HSI disebutkan bahwa, debitur harus memberitahukan dan mendapatkan persetujuan dari Bank.

“Banyak kesepakatan yang tercantum dalam perjanjian kredit dilanggar oleh PT HSI. Termasuk penyampaian dokumen laporan keuangan yang tidak sesuai fakta aslinya. Bank tidak mungkin memperpanjang kredit ke PT HSI jika laporan keuangannya tidak sehat atau berpotensi mengalami pailit seperti ini,” jelas Hasbi dalam keterangan tertulis yang diterima Viva Jatim pada Jumat, 24 Februari 2023.  

Pengamat Hukum Bisnis dari Universitas Sebelas Maret Solo (UNS) Yudho Taruno Muryanto menyatakan, putusan pailit PT HSI ini merugikan bank-bank yang bertindak sebagai krediturnya. Ini merusak kepercayaan bank dalam memberikan kredit sesuai dengan prinsip 5C (Character, Capacity, Capital, Condition, dan Collateral) yang menjadi syarat pemberian kredit kepada debitur. 

Apalagi kasus ini melibatkan nama besar dari perusahaan yang terafiliasi dengan salah satu pemilik grup usaha besar di Indonesia.

“Bagi bank, prinsip 5C adalah dasar penilaian dalam memberikan kredit. Di kasus kredit macet PT HSI ini telah merusak unsur C yang paling pertama: Character, yakni terkait siapa pengelola dan pemilik usaha si debitur. Bank mempertimbangkan memberikan kredit melihat dari siapa pemilik perusahaan debitur. Sedangkan unsur collateral atau jaminan biasanya menjadi hal terakhir yang menjadi pertimbangan bank asalkan keempat C lainnya sudah terpenuhi. Bank berharap debitur bisa menyelesaikan kewajibannya untuk membayar hutangnya, dengan demikian keberlanjutan usaha debitur bisa dijalankan,” ujar Yudho, Jumat, 24 Februari 2023.  

Yudho juga menilai jika proses PKPU PT HSI yang terjadi setelah PT HMU menjual sahamnya adalah tidak biasa. Apalagi keluarnya PT HMU dari PT HSI dilakukan tanpa sepengetahuan dari bank pemberi kredit. Sementara dalam setiap perjanjian dengan bank, PT HSI wajib menyampaikan informasi mengenai rencana ataupun perubahan pemegang saham perseroan. 

“Perlu ditelisik apakah pengalihan saham itu memberikan keuntungan untuk perusahaan, atau untuk menghindar dari kewajiban,” ucapnya.

Menurutnya, penjualan saham PT HSI oleh PT HMU menjelang permohonan PKPU yang akhirnya berujung pailit itu berdampak besar terhadap tanggungjawab pengurus perseroan dan pemegang saham lama pada kewajiban PT HSI. Dengan kewajiban kredit kepada 7 bank yang lebih dari Rp 1 triliun, tentu pembeli 50% saham PT HMU adalah orang yang luar biasa. 

Seperti diberitakan, Bank OCBC NISP melaporkan Direksi dan Komisaris PT HSI serta Pemegang Saham PT HMU termasuk Susilo Wonowidjojo ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri terkait dugaan tindak pidana pemalsuan surat, penipuan dan tindak pidana pencucian uang, yang telah merugikan Bank OCBC NISP berupa kredit macet hingga senilai ± Rp 232 Miliar dan total sekitar Rp 1 Triliun di beberapa Bank lainnya diantaranya Rp 121 miliar di Bank Mega. 

Berdasarkan data AHU, Kementerian Hukum dan HAM, akta Nomor 016 tanggal 28 Juli 2016 dan diperbarui pada 21 Juli 2021, Susilo Wonowidjojo memiliki sebanyak 99,9% saham PT HMU senilai Rp 1,93 triliun. PT HMU menjadi pemegang saham pengendali PT HSI bersama PT Surya Multi Flora, dengan masing-masing sebanyak 50% saham.

Dalam laporan Bank OCBC NISP di Bareskrim menyebutkan PT HSI mempunyai pinjaman kepada Bank OCBC NISP sejak 2016. Sesuai perjanjian kredit tersebut, Bank OCBC NISP memberikan kredit modal kerja untuk mendukung pengembangan bisnis rambut palsu atau wig PT HSI yang pabriknya berada di Sidoarjo, Jawa Timur.