Tradisi Ngesti Suro di Bumi Majapahit Penuh Khidmat
- Viva Jatim/M Lutfi Hermansyah
Mojokerto, VIVA Jatim – Sebagian besar masyarakat Jawa masih meyakini bahwa malam Satu Suro merupakan malam istimewa. Di berbagai daerah, banyak tradisi yang diadakan untuk memperingati Tahun Baru Jawa sekaligus Tahun Baru Islam ini.
Tak terkecuali di Bumi Majapahit yang berada di Trowulan, Mojokerto. Diisi dengan doa bersama dan tumpengan di candi Brahu. Kemudian ditutup dengan siraman di punden Mbah Sumber Sari.
Ada sekitar 30 orang penggiat budaya mengikuti ngesti malam 1 suro di Candi Brahu pada Sabtu, 6 Juli 2024. Mereka hadir memakai pakaian serba hitam.
Selain tertua di Mojokerto, Candi peninggalan Kerajaan Medang Kamulan era Mpu Sindok ini dipilih karena diduga kuat sebagai tempat pembakaran jenazah raja-raja. Para penggiat budaya berdoa secara bergantian dengan cara Islam, Hindu, dan Kejawen.
"Kita berdoa bersama memanjatkan rasa syukur karena pada suro tahun ini kita masih diberikan kehidupan lagi,” kata penggagas Ngesti Malam 1 Suro, Saiful Mustofa (36) kepada wartawan, Minggu, 7 Juli 2024.
Acara doa berlangsung penuh khidmat dan diiringi kidung di pelataran Candi Brahu. Semerbak wangi bunga setaman dan dupa mengeliling mereka malam itu.
Seperti adat jawa pada umumnya, terdapat sesaji, satu tumpeng Bromo, empat tumpeng biasa, kelapa gading muda serta pisang. Khususnya tumpeng Bromo, diisi 13 telor ayam kampung yang sudah direbus.
Sesaji yang biasa disebut cok bakal ini terdiri dari pisang, bunga setaman, kelapa gading muda, beras, dan empon-empon. Setiap unsur daru cok bakal ini memiliki filosofi masing-masing.
Air kelapa gading muda dibagikan kepada yang hadir untuk diminum. Menurut Mustofa, meminum air kelapa muda ini diharapakan mendapat keberkahan.
“Kelapa gading muda ini memang khusus sesaji dan memang sudah ketentuan (pakem). Tujuannya diberikan agar mendapat berkah dari para leluhur bagi yang hadir,” terangnya.
Setelah doa bersama, acara dilanjutkan dengan kenduri atau perjamuan makan. Kelima tumpeng tersebut disantap bersama-sama.
Pria yang akrab disapa Momok itu menjelaskan, tradisi ini memberikan makna pada ketentraman batin serta keselamatan. Sebab, masyarakat Jawa meyakini selama bulan Suro harus terus bersikap waspada, dan bersyukur selalu ingat bahwa siapa kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Selain itu, juga untuk meminta perlindungan kepada sang pencipta.
“Berdoa di situ agar para leluhur juga ikut menggotong tingkah laku keturunannya sekarang ini,” bebernya.
Tak sampai disitu, acara dilanjutkan dengan siraman di Punden Mbah Sumber Sari, Dusun Jatisumber, Desa Watesumpak, Trowulan, Mojokerto. Sebelum memulai siraman, mereka lebih dulu berdoa dengan kepercayaannya masing-masing untuk meminta restu leluhur di tempat ini.
“Yang disini didoakan, kemudian air sumbernya dibuat mandi,” ujar Mustofa.
Mereka mandi secara bergantian di pancuran berbentuk seperti lingga yoni. Tempatnya di sisi barat Punden Mbah Sumber Sari.
Mustofa menerangkan, tidak ada ritual khusus saat proses siraman. Hanya saja proses siraman dilakukan dengan menggegam bunga setaman di kepala. Hal itu sebagai bentuk menyucikan diri atau biasa disebut dengan sembah raga.
Mustofa menambahkan, tradisi ngesti malam 1 Suro digelar para pegiat budaya bebas dari kepentingan politik. Semua logistik dalam ritual ini murni iuran para peserta. Mereka menyumbang secara sukarela sebagai wujud syukur kepada sang pencipta.
“Pesan saya, baiarkan budaya hidup dengan kearifan lokal. Jangan sampai budaya tidak dilestarikan. Karena kesakralan tradisi budaya terletak pada kearifan lokal,” pungkasnya.