NU dan Muhammadiyah Bagian Masyarakat Sipil, bagaimana Menyikapi Baleg DPR?

Ilustrasi pilkada serentak.
Sumber :
  • vstory/viva.co.id

Surabaya, VIVA Jatim – Hasil sidang soal RUU Pilkada yang digelar secara tergesa-gesa oleh Baleg DPR RI pada Rabu, 21 Agustus 2024, kemarin memantik kritik dan protes dari masyarakat luas. DPR dinilai secara serampangan mengubah putusan MK. Masyarakat luas pun menyerukan aksi besar-besaran. 

Tegas! GP Ansor Cirebon Siap Bubarkan Paksa MLB NU

Sebagai bagian dari masyarakat sipil dan penjaga demokrasi, lalu bagaimana sikap Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah?

Sampai sekarang, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) belum menyampaikan sikap dan pernyataan resmi terkait kegaduhan akibat dari kesepakatan Baleg DPR yang mengubah putusan MK soal ambang batas pencalonan pilkada tersebut. 

ASN Deklarasi Netralitas di Pilkada Trenggalek 2024

Sementara itu, Pimpinan Pusat Muhammadiyah menunjukkan sikap kecewa terhadap kesepakatan yang diambil Baleg DPR terkait syarat calon pilkada. Muhammadiyah menilai, DPR seharusnya menjadi lembaga yang bisa diteladani dalam hal kepatuhan pada undang-undang.

“Kami sulit memahami langkah dan keputusan DPR yang bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi,” kata Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti dalam keterangannya dikutip dari VIVA, Kamis, 22 Agustus 2024.

Kampanye di Lingkungan Kampus, PMII Jatim Siap Fasilitasi Ciptakan Demokrasi Cerdas

Mu’ti menambahkan, sebagai lembaga yang mewakili rakyat, DPR seharusnya mengedepankan kepentingan dan suara dari rakyat, serta mendahulukan kepentingan negara. Selain dapat menimbulkan ketidakharmonisan antaralembaga negara, sikap DPR itu dinilai akan menjadi benih kekisruhan pilkada.

Seperti diberitakan, Baleg DPR jadi sorotan karena sepakat mengubah putusan MK soal ambang batas pencalonan pilkada. MK dalam putusannya menurunkan prosentase perolehan kursi partai politik di parlemen sebagai syarat calon, dari semula ditetapkan minimal 20 persen dari total kursi tersedia di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Namun, sehari kemudian, Baleg DPR sepakat bahwa putusan MK tersebut hanya berlaku untuk partai nonparlemen. Sementara partai politik yang memperoleh kursi di DPRD, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, harus mengantongi minimal 20 persen dari total kursi tersedia untuk bisa mengusung calon kepala daerah. Kesepakatan itu kabarnya akan diparipurnakan pada Kamis, 22 Agustus 2024, ini untuk disahkan menjadi undang-undang.

Segera setelah hasil mufakat Baleg DPR itu, masyarakat serentak melayangkan kritik dan protes. Begitu pula kalangan akademisi dan aktivis. DPR dinilai telah mengebiri nilai-nilai demokrasi di negeri ini. Pemerintah juga dicap setali tiga uang jika tidak menggagalkan pembahasan tentang RUU Pilkada yang dibahas Baleg DPR tersebut.

Pakar politik dari Universitas Trunojoyo Madura Surokim Abdussalam mengatakan, Baleg DPR seharusnya mendengarkan suara rakyat dan tidak menafsirkan ulang putusan MK yang sudah jelas menjadi tidak jelas. Peneliti senior Surabaya Survey Center itu bahkan menilai sikap Baleg DPR itu seperti bocah yang tengah mengambek. “DPR ngambek, publik dibuat terheran-heran,” katanya.