Paguyuban Warkop Surabaya Tolak PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes tentang Pengaturan IHT
- Rahmat Fajar
Surabaya, VIVA Jatim-Paguyuban Pemilik Warung Kopi Surabaya mengajukan petisi untuk menolak penerapan Peraturan Pemerintah (PP) No.28/2024 dan rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) tentang Pengaturan Industri Hasil Tembakau (IHT). Mereka menilai aturan-aturan tersebut justru meresahkan para pengusaha kecil.
Ketua Paguyuban Pemilik Warung Kopi Surabaya, Hussein Gozali mengaku resah dengan adanya aturan tersebut. Menurutnya aturan itu secara perlahan akan mematikan warung kopi.
"Larangan penjualan rokok eceran saja sudah sangat memberatkan, ditambah lagi aturan jarak minimal dengan institusi pendidikan. Ini tidak relevan. Lagipula, kami tidak mungkin menjual rokok kepada anak-anak di bawah umur," ujar Hussein dalam diskusi mengenai IHT di Surabaya, Jumat, 27 September 2024.
Petisi tersebut berisi beberapa tuntutan, termasuk penghapusan pasal tentang larangan penjualan rokok secara eceran, larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari tempat pendidikan dan tempat bermain anak, serta pengaturan mengenai kemasan polos rokok.
Hussein, yang akrab disapa Cak Chong, menjelaskan bahwa sekitar 50 persen dari omzet warkop berasal dari penjualan kopi dan rokok. Maka dari itu, jika rokok dilarang dijual eceran akan sangat berdampak kepada pendapatan warkop.
"Jika menjual rokok dalam kemasan, keuntungannya hanya Rp1.000-Rp2.000 per bungkus. Namun, kalau kami menjual eceran, keuntungan dari satu bungkus bisa mencapai Rp5.000," katanya.
Ia mengungkapkan sekitar 80 persen pembeli di warkop lebih memilih membeli rokok secara eceran. Oleh karena pembeli juga dinilai akan keberatan dengan larangan penjualan rokok eceran.
Cak Chong mendesak pemerintah agar memahami kondisi di lapangan dalam membuat peraturan. Karena cukai rokok adalah pendapatan negara terbesar hingga saat ini.
Selain larangan penjualan eceran dan aturan jarak dengan institusi pendidikan, Cak Chong juga menyoroti pengaturan kemasan polos rokok, yang menurutnya akan menyulitkan pedagang dalam membedakan legalitas produk rokok. Ia khawatir, apabila tidak sengaja menjual rokok ilegal, barang dagangannya akan disita oleh aparat.
Menurutnya, kebijakan ini tidak mempertimbangkan kesejahteraan rakyat kecil dan mengabaikan asas keadilan bagi pedagang kecil. Ia pun meminta pemerintah untuk merevisi aturan tersebut dan lebih memperhatikan kesejahteraan masyarakat bawah.
"Jika petisi penolakan ini tidak direspons oleh pemerintah, kami siap menggelar aksi massal bersama para pedagang kecil di seluruh Indonesia, terutama di Jawa Timur, yang terdampak oleh aturan ini," tegasnya.
Anggota DPRD Kota Surabaya, Imam Syafi'i, menambahkan bahwa dalam proses pembuatan aturan, pemerintah seharusnya melibatkan kelompok usaha yang terdampak. Menurut Imam, perlu diadakan public hearing sebelum suatu aturan diberlakukan.
"Tidak hanya pengusaha rokok, ada juga usaha lain seperti warung kopi atau toko kelontong yang tidak dilibatkan," jelasnya.
Ia juga mengkhawatirkan potensi kehilangan pendapatan negara yang signifikan jika aturan ini diterapkan, yang akan berdampak pada daerah. Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau (DBHCT), yang selama ini diserahkan kepada daerah, akan menurun dan bisa menyebabkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) ikut berkurang.
Mengutip data dari Indef, penerapan PP 28/2024 berpotensi mengakibatkan hilangnya pendapatan negara hingga Rp308 triliun atau sekitar 1,5 persen dari PDB. Dampaknya terhadap penerimaan perpajakan diperkirakan mencapai Rp160,6 triliun, setara dengan 7 persen dari total penerimaan perpajakan nasional. Kebijakan ini juga dapat memengaruhi sekitar 2,3 juta tenaga kerja di sektor IHT dan produk turunannya, atau 1,6 persen dari total tenaga kerja di Indonesia.
Pakar Komunikasi Universitas Airlangga, Suko Widodo, menyatakan bahwa industri rokok adalah industri yang rumit. Ia juga mempertanyakan larangan penjualan rokok eceran serta aturan jarak dan lainnya.
"Harusnya gula juga dilarang. Kenapa rokok terus yang dipersoalkan?" katanya.
Menurut Suko, aturan ini perlu dipertimbangkan lebih serius karena menyangkut kepentingan banyak orang, terutama bagi daerah seperti Jawa Timur yang merupakan penghasil tembakau dan memiliki pendapatan daerah yang bergantung pada rokok.
Senada dengan para pengusaha warkop, ia khawatir bahwa larangan penjualan eceran rokok akan mengurangi minat masyarakat untuk nongkrong di warkop. "Padahal, cangkrukan adalah tradisi Jawa Timur," pungkasnya.