AOI Dorong Milenial Menjadi Petani Organik Demi Keberlangsungan Pangan

Pelatihan Organic Youth Camp (OYC) 2023 di Mojokerto
Sumber :
  • Muhammad Lutfi Hermansyah/Viva Jatim

Jatim – Aliansi Organis Indonesia (AOI) mendorong milenial di Mojokerto menjadi petani organik melalui pelatihan Organic Youth Camp (OYC) 2023. Sejumlah milenial usia 20 hingga 35 tahun turut mengikuti kegiatan yang dipusatkan di Vila Narwastu, Desa Claket, Kacamatan Pacet selama empat hari. Selasa, 21 Februari 2023.

Ketum PSI Kaesang Safari Politik ke Surabaya, Disambut Konvoi Anak Motor

Pelatihan OYC ini berkolaborasi dengan Perkumpulan Brenjonk, Wehasta, dan Twelve’s Organic. Para petani milenial mengikuti rangkaian materi pertanian organik, praktik dan kunjungan lapangan.

Direktur AOI, Pius Mulyono mengungkapkan, ada beberapa tujuan kegiatan OYC ini digelar. Pertama, AOI ingin memberikan semangat bagi generasi muda yang memilih bergelut di bidang pertanian. Kedua, memastikan penyedia pangan berkelanjutan tetap ada di tangan petani. 

Khofifah Gandeng ITS dan Unicef Resmikan Program Digital Skill

"Ada keluhan hampir di seluruh wilayah Indonesia itu petaninya tua-tua, AOI berupaya memberikan kontribusi dan memberi semangat generasi muda untuk tertarik dalam bidang pertanian. Apapun pilihannya, baik milih sektor hulu mapun sektor hilir," katanya kepada wartawan di lokasi.

Pius meyakini, petani organik mampu menjawab tantangan krisis iklim yang saat ini tengah terjadi. Meskipun sebenarnya dirinya menyadari sektor pertanian menjadi salah satu penyumbang pemanasan global. 

Ganjar Creasi Dorong Milenial Kuasai Teknologi Robotika Hadapi Era Disrupsi

"Tujuannya para petani muda mempunyai pengetahuan tentang pertanian organik, kesadaran akan krisis iklim dan kemampuan berinovasi mengembangkan bisnis pertanian organik. Harapan kami, mereka dapat menerapkan dan menularkan semangat pertanian organik di daerah masing-masing," ungkapnya. 

Para petani organik, akademisi, praktisi, pengusaha dan aktivis organik menjadi narasumber pelatihan ini. Kabupaten Mojokerto dipilih menjadi tempat OYC salah satunya karena mempunyai banyak petani organik. Antara lain Brenjonk, Wehasta dan Twelve’s Organic. 

Namun, lanjut Pius, para petani tidak hanya sekedar mendengarkan materi dari narasumber. mereka juga bisa saling berbagi pengalaman dan bertukar pikaran. 

"Mereka sangat kaya dengan pengalamannya masing-masing. Mereka ada dari petani perkebunan, petani padi, petani holtikultuta, dan lain-lain. Saya kira ini akan memperkaya teman-teman untuk saling berbagi-bagi. Sehingga semua akan menjadi narasumber," jelasnya. 

Selain mendapatkan ilmu, puluhan petani muda tersebut otomatis masuk dalam jejaring pertanian organik di Indonesia. Mereka diharapakan mampu mengepakkan sayap dan menjadi generasi baru untuk menggarap peluang pasar yang sangat besar untuk produk pertanian organik. Baik pasar ekspor maupun dalam negeri. Sehingga bekerja di sektor pertanian tak akan kalah dengan sektor industri maupun jasa.

"Pasar ekspor sangat terbuka ke hampir semua negara Eropa dan Amerika tentunya dengan standar organik masing-masing negara. AOI memastikan para petani bisa memenuhi standar pasar ekspor. Yang sudah ekspor ada gula semut, kakao dan kopi. Kalau sayur, beras, buah masih sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, khususnya di kota-kota besar," beber Pius. 

Para petani organik milenial juga diharapkan mampu mengubah mindset pertanian konvensional di Indonesia yang didominasi petani usia 50-70 tahun. Angka pertani tua mencapai 75 persen. Sedangkan data BPS tahun 2021 menunjukkan hanya 19,18 persen pemuda bekerja di sektor pertanian.

Seperti diketahui mayoritas petani terlanjur bergantung pada benih, serta pupuk dan pestisida kimia yang harus mereka beli. Karena pupuk dan pestisida kimia menunjukkan efek yang instan terhadap tanaman. Padahal, penggunaan bahan kimia justru merusak tanah dan berbahaya bagi kesehatan.

"Dalam pertanian organik, petani membuat benih, pupuk dan pestisida nabati sendiri. Ujung-ujungnya membuat petani sejahtera. Selain itu, konsep pemupukan harus diubah, bukan memupuk tanaman, tapi memupuk tanahnya. Pupuk kimia membuat tanaman hijau, tapi tanahnya keras. Beda kalau kesuburan tanahnya dipulihkan, ditanami apapun pasti tumbuhnya bagus," ujar Pius.

Petani organik dari Wehasta Mojokerto, Cak Toko sempat membagikan pengalamannya. Menurutnya memang tidak mudah mengubah mindset para petani yang terlanjur bergantung pada pupuk dan pestisida kimia. Terlebih lagi pertanian organik butuh waktu cukup lama untuk mencapai hasil panen yang maksimal.

"Memang di awal, produktivitasnya [pertanian organik] agak menurun, sekitar 20 persen dibandingkan pertanian konvensional. Karena nutrisi tanah belum pulih sepenuhnya. Pengalaman saya butuh 3 tahun sampai tanah pulih dan hasilnya sama dengan pertanian konvensional," ungkapnya.

Namun, turunnya hasil panen di masa awal peralihan ke pertanian organik bisa ditutup dengan harga panen yang lebih tinggi. Selain itu, biaya tanam dan perawatan tanaman menjadi lebih rendah karena petani organik tak perlu membeli pupuk maupun pestisida kimia. Pupuk kandang atau kompos dan pestisida nabati sebagai gantinya.

"Apalagi kalau di setiap desa ada pengolahan sampah untuk pupuk kompos untuk memenuhi kebutuhan para petani organik," pungkasnya.