Buku 'Suara-suara Terabaikan' Gaungkan Kelompok Minoritas di Eks Karisidenan Kediri

Buku 'Suara-suara Terabaikan' karya AJI Kediri
Sumber :
  • VIVA Jatim/Madchan Jazuli

Kediri, VIVA Jatim – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kediri melalui Jayabaya Institute melaunching buku perdana 'Suara-suara Terabaikan'. Buku tersebut sebagai output pelatihan Indept Reporting beberapa bulan yang lalu dengan peserta jurnalis se-Eks Karisidenan Kediri.

AJI Kediri dan GNI Bekali Jurnalis Kenali hingga Bikin Konten Luruskan Hoaks

Launching buku ini dikemas dalam diseminasi dan bedah buku 'Suara-suara Terabaikan' sebuah kompilasi karya jurnalistik perjuangan kelompok minoritas.

Ketua AJI Kediri 2022-2024 Danu Sukendro mengungkapkan bahwa buku ini merupakan kompilasi karya jurnalistik indept mendalam, mengambil kelompok minoritas di Karisidenan Kediri. Dimana saat ini di dunia jurnalistik para awak media kurang menekuni liputan mendalam.

Jurnalis Dihalang-halangi Liput Sortir Surat Suara, KPU Kediri Akhirnya Minta Maaf

"Liputan mendalam kurang mendapatkan interest. Rata-rata menulis indept hanya segelintir, karena membutuhkan effort menembus narsum, menulis panjang, tapi minat pembaca segmentik, serta viewer traficknya sedikit," ujar Danu Sukendro di Hotel Bukit Bintang Kediri, Sabtu, 29 Juni 2024.

Danu mengapresiasi kepada semua pihak yang telah ikut mendukung khususnya terbitnya buku tersebut. Ia berharap karena ini menjadi program AJI Kediri dan Sekolah Jurnalistik Jayabaya Institute, pihaknya sepakat mengelaborasikan kegiatan ini di akhir kepengurusan 2021-2024. 

Halangi Peliputan Penyortiran Surat Suara, AJI Kecam KPU Kediri

Pria yang bekerja di salah satu televisi swasta nasional menambahkan dengan adanya buku ini berharap bisa menjadi sebuah kenangan dan catatan masinis 2021-2024.

"Ini menjadi pemantik, paling tidak teman teman sedemikian rupa menghasilkan karya. Menjadi semacam titik ungkit memproduksi buku yang lebih berkualitas," ulasnya.

Terpisah dalam pengantar, Danu mengungkapkan sebagian kelompok minoritas pasrah dengan keadaan. Membiarkan diri terpinggirkan hingga ke tepi jurang kehidupan. Namun, tak sedikit yang berjuang menuntut keadilan. Apapun hasilnya, yang penting berjuang. Bersuara lantang.

Lantas, siapa yang menggemakan suara mereka? Selayaknya, pers ambil bagian. Menyediakan ruang bagi mereka yang tertindas. Menyuarakan mereka yang tak kuasa bersuara. Voice of voiceless. 

"Jurnalis seharusnya berpihak pada kelompok minoritas. Mengedukasi khalayak, memberitakan problematika mereka agar didengar dan mendapat empati penguasa. Sehingga, mereduksi prasangka dan diskriminasi terhadap mereka yang terpinggirkan," tandasnya.

Terpisah Ketua Divisi Pendidikan AJI Kediri, Fadly Rahman mengatakan untuk peta program pelatihan yang akan dilakukan jika masih dipercaya menggawangi Jayabaya Institute tidak berubah. 

"Ini sebagai langkah pertama rangkaian pelatihan series salah satu materinya indhept melaunching berupa buku," kata Fadly.

Ia mengapresiasi para akademisi, pegiat literasi hingga tokoh cukup baik. Melihat kajian tema-tema di buku tersebut kaum minoritas menjadi semacam dokumentasi otentik. Sekaligus menjadi data khususnya hukum-hukum kelompok minoritas dan marginal.

"Sekarang itu menjadi kajian. Ada dulu KUHP warisan kolonial, ada kaum minoritas membutuhkan advokasi hukum, rumusan itu penting untuk kajian hukum. Salah satunya terdokumentasi seperti ini, apalagi terbukukan," ujarnya.

Ia mengatakan, jumlah penulis yang berkontribusi ada 11 dari berbagai media cetak maupun online. Lalu, untuk buku tersebut minimal mengkaji liputan ini muncul khususnya di wilayah di Eks Karisidenan Kediri. 

"Kedepan menjadi evaluasi dan pendekatan peningkatan baik teknis atau pemetaan isu-isu. Itu dari sudut pandang," pungkasnya.

Salah satu 11 penulis tersebut diantaranya salah satu Jurnalis VIVA Jatim, Madchan Jazuli. mengambil isu 'Akses Pendidikan Terabaikan dan Fobia Penghayat Kepercayaan'. 

Menjadi salah satu narasumber penulis dalam acara diseminasi dan bedah buku. Sedangkan untuk penanggap langsung dari Ketua Umum AJI Indonesia, Nani Afrida dan Dekan Fakultas Hukum Uniska, Dr Zainul Arifin.