Mengenal Kiai Bisri Syansuri, Sosok Pahlawan Pra dan Pasca Kemerdekaan

Makam Kiai Bisri Syansuri
Sumber :
  • Viva Jatim/Nur Faishal

Jatim – KH. M. Bisri Syansuri  adalah seorang ulama dan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang lahir pada 18 September 1886 M. di Tayu, Pati, Jawa Tengah. Semasa kecil, Bisri muda belajar pada KH Abd Salam, seorang ahli dan hafal Al-Qur’an dan juga ahli dalam bidang fiqih. 

Momen Banser di Trenggalek Periksa Kesehatan Puluhan Emak-emak

Di sana, ia belajar ilmu nahwu, saraf, fiqih, tasawuf, tafsir, hadits. Gurunya dikenal sebagai tokoh yang disiplin dalam menjalankan aturan agama. Usia 15 tahun, mulai belajar ilmu agama di luar tanah kelahirannya, pada kedua tokoh agama yang terkenal pada waktu itu yaitu KH Kholil Kasingan Rembang dan KH Syu’aib Sarang Lasem.

Bisri muda juga berguru kepada Syaikhona Kholil Bangkalan. Di pesantren inilah ia kemudian bertemu dengan KH Abdul Wahab Chasbullah, seorang yang kemudian menjadi kawan dekatnya hingga akhir hayat di samping sebagai kakak iparnya. 

Soal Perbedaan Awal Ramadan 1445 H, MUI: Mari Saling Menghormati

Lalu Kiai Bisri berguru kepada Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari di Tebuireng. Di pesantren itu, beliau belajar selama 6 tahun. Beliau memperoleh ijazah dari gurunya untuk mengajarkan kitab-kitab agama yang terkenal dalam literatur lama mulai dari kitab fiqih Al-Zubad hingga kitab hadits seperti Bukhari dan Muslim.

Pada tahun 1912 sampai 1913, beliau  berangkat melanjutkan pendidikan ke Makkah bersama KH Abdul Wahab Chasbullah. Di kota suci  itu, mereka belajar kepada Syekh Muhammad Bakir Syekh Muhammad Said Yamani, Syekh Ibrahim Madani, dan Syekh Al-Maliki. Juga kepada guru-guru Kiai Haji Hasyim Asy’ari, yaitu Kiai Haji Ahmad Khatib Padang, dan Syekh Mahfudz Tremas. 

Gus Baha Ungkap Kunci Hidup Bahagia, bukan Harta maupun Tahta

Saat di Makkah, Kyai Bisri meminang adik dari KH Wahab Chasbullah yakni Nur Khodijah. Pasca menikah keduanya tinggal dan menetap di Tambak Beras, Jombang. Mereka dikaruniai sembilan orang anak yang salah satunya yakni Sholihah. Sholihah menikah dengan Kyai Wahid Hasyim yang juga merupakan ayah dari Mantan Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Bersama sang istri, KH. M. Bisri Syansuri mulai merintis pendirian pesantren di atas tanah milik pribadi yang terletak di Desa Denanyar pada tahun 1917. Sebelum adanya Pesantren Mambaul Maarif, Desa Denanyar merupakan “daerah hitam”. 

Saat itu, warga di sana menjalani hidup tanpa mengindahkan kaidah moral dan ajaran Islam. Perjudian, perampokan, tindak kekerasan, perzinaan, dan perilaku maksiat lainnya menjadi pemandangan sehari-hari. Kondisi inilah yang justru menyemangati pasangan Kiai Bisri Syansuri dan Nyai Hj Nur Khodijah dalam berdakwah.

Seiring bertambahnya waktu, pendekatan dakwah Kiai Bisri Syansuri dan Nyai Hj. Nur Khodijah semakin diminati masyarakat, khususnya kaum wanita. Mereka mulai terbuka pandangannya. 

Masyarakat mulai memahami bahwa dalam ajaran Islam kedudukan wanita dimuliakan. Sejak saat itu, Pesantren Mambaul Maarif bukan hanya tempat kaum pria mendalami agama Islam, tetapi juga bagi kaum wanita. Dari situlah cikal bakal lahirnya Pondok Pesantren Putri Mambaul Maarif.

Pada momen acara Haul KH M Bisri Syansuri ke-44, Nyai Hj. Nur Khodijah ke-74 dan Harlah Pondok Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar, Kab. Jombang, 22 Januari, malam, Gubernur Jawa Timur Khofiah Indar Parawansa, mengatakan Kiai Bisri memiliki jasa besar dalam perjuangan bangsa terutama saat resolusi jihad serta dalam memajukan pendidikan pada kaum perempuan. Maka ia mendukung  penuh pengajuan sosok KH. M. Bisri Syansuri sebagai sosok pahlawan nasional.

Hal tersebut dirasa penting mengingat perjuangan KH. M. Bisri Syansuri saat menjadi komandan dan membantu mengkomunikasikan gerakan Hizbullah dan Sabilillah bersama para santri saat resolusi jihad merupakan sentral komando pergerakan pasukan.

“Selain itu, beliau juga memiliki peran yang luar biasa dalam proses perjuangan  bagi bangsa dan negara saat  pra dan pasca kemerdekaan,” katanya.