Lika-liku Aturan Ambang Batas Capres: Berkali-kali Digugat dan Ditolak, Lalu Dikabulkan
- Istimewa
Surabaya, VIVA Jatim – Tahun Baru 2025, rakyat Indonesia mendapatkan kado terindah dari Mahkamah Konstitusi (MK). Setelah berkali-kali digugat dan ditolak, akhirnya MK mengabulkan uji materi terkait aturan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold yang termaktub dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu.
MK secara resmi menghapus ambang batas pencalonan presiden 20.persen. Secara otomatis membuka peluang bagi setiap partai politik untuk dapat mengusung sendiri pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pilpres 2029.
Dikutip dari VIVA, Jumat, 3 Januari 2025, dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Saldi Isra menyatakan bahwa Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 222 UU Nomor 7/2017 mengatur terkait persyaratan capres-cawapres hanya dapat dicalonkan oleh parpol yang memiliki minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya.
"Dalam Pasal 222 UU 7/2017 tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat namun juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Sehingga terdapat alasan kuat dan mendasar bagi Mahkamah untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya," kata Saldi Isra di Gedung MK, Jakarta, Kamis, 2 Januari 2025.
"Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945," kata Saldi Isra.
Padahal gugatan terkait ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sudah beberapa kali digugat untuk uji materi, diantaranya: