Industri Rokok Terancam, Kadin Jatim Tolak Beberapa Pasal di PP 28/2024
- Rahmat Fajar
Surabaya, Viva Jatim-Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Jawa Timur menolak beberapa pasal terkait zat adiktif dalam Peraturan Pemerintah (PP) 28/2024 yang baru disahkan tanggal 26 Juli 2024 lalu. Kadin menilai beberapa pasal dalam peraturan tersebut diperkirakan akan sangat berdampak dalam kontribusi industri hasil tembakau (IHT) dalam pembangunan nasional.
Ketua Umum Kadin Jatim, Adik D. Putranto, mengatakan para pelaku Industri Hasil Tembakau (IHT) dibuat pusing dengan adanya PP 28/2024, serta aturan turunannya yang tengah disusun oleh Kementerian Kesehatan, yaitu Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPermenkes) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik.
“Dalam PP 28/2024 tentang Kesehatan, terdapat beberapa pasal yang akan berdampak langsung pada IHT dan mengancam keberlangsungan industri. Saat ini IHT memberi kontribusi terhadap 10 persen penerimaan negara serta menjadi sumber penghidupan jutaan masyarakat. Namun, seperti diketahui, berbagai tekanan yang sangat luar biasa baik dari sisi kebijakan fiskal dan non-fiskal, telah berakibat tidak tercapainya target penerimaan cukai pada tahun 2023 lalu, dan kini ditambah lagi dengan peraturan yang lebih eksesif,” ujar Adik saat jumpa pers, di Kantor Kadin Jatim, Kamis, 5 September 2024.
Adik menjelaskan di antara pasal yang mendapat perhatian dan ditolak adalah pasal 435 mengenai standarisasi kemasan, yang kemudian diperjelas kembali dalam RPermenkes pasal 4 ayat 2a, 5 hingga 7.
Sebab kedua aturan ini mengarahkan pada implementasi kemasan polos. Artinya, dalam waktu dekat seluruh produk IHT, baik rokok konvensional maupun elektrik tidak diperbolehkan memiliki desain ataupun merek di kemasan.
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia menjadi salah satu negara yang tidak merafitifikasi konvensi pengendalian tembakau melalui Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), di mana kemasan polos menjadi salah satu mandat pengendalian didasari pada prinsip kesehatan.
Pemerintah, lanjut Adik, pada masa itu memahami bahwa intervensi yang menyangkut IHT banyak aspek lain yang harus diperhatikan seperti ekonomi dan sosial. Termasuk juga kesehatan.
"Dampak lebih destruktif dari implementasi kemasan polos adalah berkembangnya rokok illegal," kata Adik.
Selain itu, Adik juga menyoroti pasal 431 tentang pembatasan tar dan nikotin pada rokok konvensional. Aturan ini diyakini akan menghilangkan karakter produk tembakau khas Indonesia, yaitu kretek sekaligus berpengaruh pada serapan tembakau lokal yang menjadi sumber mata pencaharian jutaan petani di Indonesia.
Kemudian pasal 432 terkait larangan bahan tambahan juga menjadi perhatian. Kadin Jatim menilai pasal ini menimbulkan potensi implementasi yang tidak tepat di lapangan mengingat belum adanya aturan jelas terkait apa saja bahan-bahan apa yang masuk di dalam larangan.
Kadin Jatim juga mempertanyakan pemberlakuan larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dan iklan dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan. Menurut Adik hal tersebut sangat diskriminatif bagi pelaku usaha dan pedagang kecil yang juga menopang ekonomi kerakyatan.
Di sisi lain, efek domino yang ditimbulkan akan berimbas pada pendapatan daerah, juga mengancam keberadaan industri kreatif yang selama ini banyak ditopang oleh iklan produk tembakau.
Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (GAPERO) Sulami Bahar menambahkan penolakan terhadap beberapa pasal tersebut demi keberlangsungan industri. Sebab jika pasal tersebut diterapkan industri rokok akan bertumbangan.
"Ini kalau diberlakukan pabrik akan tumbang. Rokok ilegal semakin marak. Untuk itu kami menolak," kata Sulami.
Sulami juga meminta kepada pemerintah agar melibatkan pelaku industri rokok jika akan membuat peraturan. Karena pelaku industri rokok yang akan merasakan dampaknya apabila merugikan. Seperti halnya beberapa pasal di PP 28/2024 yang diyakini akan berdampak luas jika diterapkan bukan hanya kepada industri tetapi juga kepada petani dan tenaga kerja.
Ia menegaskan penolakan terhadap PP 28/2024 tersebut juga sebagai upaya mempertahankan rokok kretek sebagai ciri khas Indonesia.
Wakil Ketua Perkumpulan Pengusaha E-Liquid Indonesia (PPEI), Agung Subroto mengatakan bahwa PP 28/2024 dan rancangan Permenkes ini sangat eksesif. Menurutnya pelaku industri rokok elektronik mayoritas adalah UMKM dan bagian dari industri kreatif.
"Tentu aturan ini akan menyebabkan banyak usaha gulung tikar" kata Agung.
Sebelum adanya PP 28/2024 tentang Kesehatan, IHT telah menghadapi banyak tekanan regulasi. Dari 446 regulasi yang mengatur IHT, sebanyak 400 (89,68 persen) berbentuk kontrol, 41 (9,19 persen) lainnya mengatur soal cukai hasil tembakau, dan hanya 5 (1,12 persen) regulasi yang mengatur isu ekonomi/kesejahteraan.