Mahfud MD Bicara Kewenangan, Begini Landasan Ushul Fikihnya

Mahfud MD saat rapat dengan Komisi III DPR RI
Sumber :
  • Istimewa

Jatim – Dalam agenda rapat dengan Komisi III DPR RI, Menkopolhukam Mahfud MD sempat mengklarifikasi soal adanya kewenangan mengungkap transaksi janggal senilai Rp349 Triliun di Kementerian Keuangan. Ia menegaskan tak ada larangan dalam hal tersebut.

Raup Ratusan Ribu Suara, Mas Ibas Ucapkan Terima Kasih ke Pemilih

"Kalau tidak berwenang, apa dilarang?," kata Mahfud MD saat rapat dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 29 Maret 2023.

Mahfud lantas menyebut bahwa di dalam hukum jika sesuatu tersebut tidak dilarang, maka boleh dilakukan. Termasuk mengungkap adanya transaksi janggal Rp349 di Kementerian Keuangan.

Ronald Tannur Terdakwa Pembunuhan Dini Mulai Disidang, Terancam 15 Tahun Penjara

Sebagai Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Mahfud meyakini apa yang Ia lakukan tidak keluar dari tugas dan tanggungjawabnya.

Hal ini disampaikan Mahfud MD sebagai tanggapan kepada Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan yang mempermasalahkan dirinya mengungkap kasus tersebut. Arteria menyebut apa yang dilakukan Mahfud MD tidak sesuai aturan perundangan dan diancam pidana.

Membangun Industri Terintegrasi Pelabuhan di ALKI Demi Tingkatkan Ekonomi

Pasangan Ushul Fikih

Lantas bagaimana Ushul Fikih memandang pernyataan Mahfud MD bahwa di dalam hukum, selama belum ada larangan atau aturan, maka boleh dilakukan? Berikut ini penjelasannya dikutip dari berbagai sumber.

Dalam aspek kajian Ushul Fikih, pernyataan Mahfud MD ini merupakan metode berpikir kalangan Madzhab Syafi'i. Yang berpijak pada kaidah الأصل في الأشياء الإباحة (hukum asal dalam segala sesuatu adalah boleh). Berbeda dengan kalangan Madzhab Hanafi yang mengacu pada kaidah الأصل في الأشياء التحريم (hukum asal dalam segala sesuatu adalah dilarang).

Namun dalam pengembangannya, dua kaidah yang kontradiktif ini kemudian diberikan peran dan wilayah masing-masing. Untuk yang الأصل في الأشياء الإباحة diposisikan pada aspek kajian bidang muamalah. Dari pijakan ini kemudian muncul kaidah الأصل في المعاملة الإباحة إلا أن يدل الدليل على التحريم (Hukum asal dalam urusan muamalah adalah boleh dilakukan, selain hal-hal yang telah ditentukan haram oleh dalil/nash).

Adapun kaidah الأصل في الأشياء التحريم diposisikan pada wilayah kajian ibadah mahdlah atau ritual keagamaan. Sehingga muncul kaidah الأصل في العبادة التحريم إلا أن يدل الدليل على الإباحة (Hukum asal dalam urusan ibadah adalah tidak boleh dilakukan, kecuali ada dalil yang memperbolehkan/memerintahkan).

Di kaidah yang pertama memiliki asas legalitas penuh. Sehingga segala sesuatu boleh dilakukan walaupun tidak ada perintah, asalkan tidak ada larangan. Dengan kata lain seseorang boleh melakukan sesuatu, meskipun tidak ada dalil yang memerintahkannya, yang penting tidak ada dalil yang melarangnnya.

Sehingga selama tidak ada kaitannya dengan persoalan ibadah keagamaan dan tidak bertentangan dengan hukum atau aturan pelarangan, tentu boleh-boleh saja dilakukan.

Asas Legalitas dalam Hukum Pidana

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 1 Ayat 1 disebutkan bahwa Tiada suatu perbuatan dapat di pidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.

Hal demikian di dalam hukum pidana dikenal dengan asas legalitas. Yakni asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam undang-undang.